Kendati saat perintah itu dirasa bagi dirinya sangat berat, namun Hendropriyono yang saat itu masih perwira pertama RPKAD tetap berangkat menjalankan perintah memimpin pasukannya melawan PGRS yang dipimpin Bong Khee Chok di Kalimantan.
Mertua Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa ini awalnya melakukan pendekatan persuasif ke pasukan GPRS dan sebagian menuai keberhasilan.
Hanya saja, pasukan Kopassus kadang terpaksa menangkap dan menewaskan tokoh-tokoh gerilyawan Kalimantan itu jika langkah persuasif tidak berhasil.
Anggota PGRS, Tentara Nasional Kalimantan Utara (PARAKU) dan TNI berfoto bersama menandai hubungan dekat di antara mereka di bawah pemerintahan Presiden Soekarno, selama konflik Indonesia-Malaysia. (Foto:www.tionghoa.info)
"Masalahnya begini. Kita melatih PGRS. Kewaspadaan Bung Karno dulu jangan sampai ini mengotori pasukan nasionalis karena PGRS kan dulu komunis. Karena itu dibentuklah TNKU alias Tentara Nasionalis Kalimantan Utara untuk memisahkannya dengan komunis. Tapi latihannya bareng. TNKU itu isinya RPKAD, isinya kita," kata Hendropriyono.
Dia melanjutkan, saat itu dia berhasil menangkap dan menumpas anggota PGRS. Dia juga berhasil melumpuhkan salah satu komandan PGRS, Ah San alias Hassan dengan pertarungan duel.
Namun, Hendropriyono tak pernah bertemu langsung dengan Bong Khee Chok di medan peperangan. Panglima PGRS tersebut juga baru keluar dari hutan pada November 1973 dan menandatangani perjanjian damai dengan pemerintah Malaysia.
“Sesudah selesai pertempuran, Syarif Ahmad Sofyan tertangkap. Bong Khon dan Bong Khee Chok menyerah di Bandar Sri Aman,” kata ayah Diaz Hendropriyono yang kini menjadi Staf Khusus Presiden Joko Widodo ini.
Editor : Ditya Arnanta