“Nenek paham perasaanmu, Nak. Penduduk Desa ini memang terkenal tamak serta sombong. Sifat mereka semakin menjadi-jadi. Nenek coba mengingatkan mereka namun malah dikucilkan. Tetapi tidak apa-apa, Nenek tidak marah. Suatu hari Tuhan pasti membalas perbuatan mereka,” jelas Nyi Latung sambil menyiapkan hidangan sederhana untuk Baru Klinthing.
Seperti nasi, sayur lodeh dan tempe goreng. Meskipun tidak mewah, Baru Klinthing tetap menikmati hidangan itu. Setelah selesai makan serta istirahat secukupnya, ia pamit pada Nyi Latung yang tinggal seorang diri. Sebelum pergi Baru Klinthing berpesan pada Nyi Latung untuk naik ke lesung dan menyiapkan kayuh kalau tiba-tiba terdengar suara kentongan yang bertalu-talu. Nyi Latung mendengarkan pesan itu karena ia tahu bahwa anak kecil yang ditolongnya bukan anak biasa. Baru Klinthing lalu pergi ke lapangan desa ketempat para penduduk berpesta.
Di tengah kerumunan orang banyak, dia menancapkan sebuah batang lidi lalu menantang siapa yang bisa mencabutnya.
“Di kantung yang sedang aku genggam ini, terdapat puluhan keping uang emas yang akan aku berikan untuk siapa saja yang bisa mencabut lidi di hadapanku ini,” kata Baru Klinthing lantang, membuat mata semua orang terbelalak kaget ternyata pengemis kecil yang diusir tadi mempunyai banyak kekayaan.
Karena rasa tamak serta rakusnya, para penduduk desa mulai maju satu persatu guna mencabut lidi yang ditancapkan oleh Baru Klinthing. Tetapi sampai orang terakhir, tidak ada satu pun orang yang berhasil. Bahkan walau dicabut beramai-ramai, mereka masih tetap gagal. Lalu Baru Klinthing maju dan mencabut lidi yang dia tancapkan di tanah itu. Tak lama kemudian keluarlah air yang deras dari bekas lubang lidi tersebut.
Para penduduk desa lalu memukul kentongan bertalu-talu untuk memberi tahu yang lain supaya menyelamatkan diri karena datang banjir bandang yang secara tiba-tiba. Tetapi berapa keras usaha mereka, tidak ada satu pun orang yang selamat dari sapuan air bah itu.
Semuanya tewas tenggelam karena banjir kecuali janda tua yang memberi makan Baru Klinthingtadi. Nyi Latung selamat dan berhasil keluar dari desanya yang kini berubah menjadi sebuah danau raksasa yang diberi nama Rawa Pening. Banyak yang berspekulasi bahwa Baru Klinting yang tinggal di Rawa Pening inilah yang meminta tumbal.
Keberadaan kerajaan mahluk halus Di atas danau seluas 2.670 hektare ini terdapat tiga buah jembatan besar, yang pertama adalah jembatan utama yang berada di Jalan Raya Solo-Semarang, yang kedua adalah jembatan yang letaknya di antara jembatan utama dan bendungan, lalu yang terakhir adalah jembatan rel kereta api Ambarawa-Tuntang yang merupakan peninggalan Belanda.
Menurut orang-orang pintar, ada tiga kerajaan mahluk halus yang berdiri di sekitar Rawa Pening. Kerajaan pertama letaknya di sekitar danau yang ada di Rawa Pening. Kemudian, kerajaan mahluk halus yang kedua bertempat di antara jembatan utama dan jembatan rel kereta api.
Selanjutnya, kerajaan terakhir ini berdiri di antara jembatan kedua. Belum ada yang pernah membuktikan misteri Rawa Pening yang satu ini. Namun, banyak orang yang mengaitkan tragedi kecelakaan atau orang tenggelam di Rawa Pening karena ulah penghuni kerajaan mahluk halus ini.
Mencari kerang dengan kakek gaib. Kisah kakek gaib peregang nyawa ini juga menjadi misteri Rawa Pening yang ditakuti oleh masyarakat sekitar. Kejadian ini bermula pada saat lima orang anak bermain di sekitar danau. Tiba-tiba mereka didatangi oleh seorang kakek untuk mencari kerang di sekitar danau. Karena airnya sangat bening, maka disebutlah Rawa Pening yang berada di Kabupaten Semarang, Jawa Tengah.***
Editor : Ditya Arnanta