SEMARANG, iNewskaranganyar.id - Rawa Pening salah satu adalah danau alam yang terletak di Kabupaten Semarang, Jawa Tengah. Danau in i memiliki luas 2.670 hektare berada di Kecamatan Ambarawa, Bawen, Tuntang, dan Banyubiru.
Rawa Pening terletak di cekungan terendah lereng Gunung Merbabu, Gunung Telomoyo, dan Gunung Ungaran. Danau ini dangkal dan menjadi hulu bagi Sungai Tuntang.
Seperti dikutip dari Wikipedia, Rawa Pening terbentuk dari muntahan air yang mengalir dari bekas cabutan lidi yang dilakukan oleh Baro Klinthing.
Cerita Baru Klinthing yang berubah menjadi anak kecil yang penuh luka dan berbau amis sehingga tidak diterima masyarakat dan akhirnya ditolong janda tua.
Kisah ini berawal ketika warga Desa Pathok mengadakan sedekah bumi sebagai rasa syukur atas sukses panen. Mereka mengadakan acara hiburan rakyat berupa pertunjukan tarian tradisional, pagelaran wayang kulit, kuda lumping dan kenduri bersama.
Kemudian warga memotong kambing dan ayam. Selain itu mereka juga mencari hewan buruan di hutan. Kaum laki-laki baik tua ataupun muda keluar masuk ke hutan untuk mencari hewan buruan.
Tetapi anehnya tidak ada satu pun kijang, babi atau banteng hutan yang muncul. Hingga hari menjelang sore tangan mereka masih kosong saja. Tidak ada satu hewan buruan pun yang berhasil ditangkap.
Karena kesal serta kelelahan, seorang laki-laki dari mereka beristirahat di batang pohon besar yang tumbang di pinggir jalan setapak. Lalu dia menancapkan pedangnya di pohon tumbang yang sudah ditutupi lumut itu.
Yang anehnya dari pohon itu justru mengeluarkan darah segar yang mengalir deras dan menyebabkan bau anyir yang menyengat. Dengan segera mereka mencari tahu benda apa yang sebenarnya tengah diduduki oleh mereka itu.
“Teman-teman, nasib kita sepertinya sedang baik. Ini bukan pohon tumbang, tetapi ular raksasa yang sedang tertidur. Mari kita potong dan bawa ke desa untuk dibuat hidangan yang lezat!,” seru Kepala Desa pemimpin perburuan dikutip dari situs dunia pendidikan.
Mereka tidak tahu kalau ular yang mereka potong itu ternyata Baru Klinthing, putra dari pertapa sakti Ki Hajar Salokantara dan istrinya Nyai Selakanta yang berasal dari Desa Ngasem. Baru Klinthing yang sedang bertapa untuk memperdalam ilmu kanuragan dengan cara melingkari Gunung Telomoyo. Kalau warga Desa Pathok tahu, mereka pasti mengurungkan niatnya menjadikan Baru Klinthing sebagai santapan karena akibat dari perbuatan itu sungguh sangat luar biasa.
Ular raksasa Baru Klinthing itu berubah wujud menjadi anak kecil yang kurus kering serta berbau amis seperti tidak pernah mandi selama berhari-hari. Yang kemudian ia bergabung dengan warga Desa Pathok yang sedang mengadakan syukuran sedekah bumi. Tetapi ketika ia meminta makan dan minum, tidak ada seorang penduduk pun yang mau memberinya. Semua orang yang ditemuinya selalu menghardik dan mengusir dengan kasar.
“Pergi kau pengemis kecil dasar jorok dan bau! Makanan di perutku dapat dimuntahkan kalau terus melihatmu! Sana pergi mengemislah di tempat lain. Di sini tidak ada tempat untukmu!,” bentak salah satu warga dan mengayunkan tongkat pada Baru Klinthing.
Air mata jatuh membasahi pipinya yang tirus. Sungguh kejam perbuatan penduduk Desa Pathok. Mereka memang orang kaya, namun hati dan perangainya sangatlah miskin, jauh dari sifat dermawan yang belas kasih. Di tengah keputus asaannya, Baru Klinthing tiba di sebuah rumah sederhana salah seorang penduduk desa yang bernama Nyi Latung.
“Masuklah ke rumahku, Nak. Jangan menangis di luar seperti itu. kalau kau lapar, Nenek punya sedikit makanan untukmu,” pinta Nyi Latung dan menggandeng Baru Klinthing dengan lembut untuk masuk ke dalam rumahnya. Baru Klinthing menceritakan kejadian yang dia alami dengan penduduk desa.
Editor : Ditya Arnanta