get app
inews
Aa Read Next : Misteri Gunung Malabar yang Penuh Kisah Horor, Raibnya Kerajaan Malabar

Kisah Mistik Asal Usul Rawa Pening, Danau Misteri di Kaki Tiga Gunung

Jum'at, 24 November 2023 | 17:25 WIB
header img
Kisah Mistik Asal Usul Rawa Pening

SEMARANG, iNewskaranganyar.id - Rawa Pening salah satu adalah danau alam yang terletak di Kabupaten Semarang, Jawa Tengah. Danau in i memiliki luas 2.670 hektare berada di  Kecamatan Ambarawa, Bawen, Tuntang, dan Banyubiru.

Rawa Pening terletak di cekungan terendah lereng Gunung Merbabu, Gunung Telomoyo, dan Gunung Ungaran. Danau ini dangkal dan menjadi hulu bagi Sungai Tuntang.

Seperti dikutip dari Wikipedia, Rawa Pening terbentuk dari muntahan air yang mengalir dari bekas cabutan lidi yang dilakukan oleh Baro Klinthing. 

Cerita Baru Klinthing yang berubah menjadi anak kecil yang penuh luka dan berbau amis sehingga tidak diterima masyarakat dan akhirnya ditolong janda tua. 

Kisah ini berawal ketika warga Desa Pathok mengadakan sedekah bumi sebagai rasa syukur atas sukses panen. Mereka mengadakan acara hiburan rakyat berupa pertunjukan tarian tradisional, pagelaran wayang kulit, kuda lumping dan kenduri bersama.

Kemudian warga memotong kambing dan ayam. Selain itu mereka juga mencari hewan buruan di hutan. Kaum laki-laki baik tua ataupun muda keluar masuk ke hutan untuk mencari hewan buruan. 

Tetapi anehnya tidak ada satu pun kijang, babi atau banteng hutan yang muncul. Hingga hari menjelang sore tangan mereka masih kosong saja. Tidak ada satu hewan buruan pun yang berhasil ditangkap.

Karena kesal serta kelelahan, seorang laki-laki dari mereka beristirahat di batang pohon besar yang tumbang di pinggir jalan setapak. Lalu dia menancapkan pedangnya di pohon tumbang yang sudah ditutupi lumut itu. 

Yang anehnya dari pohon itu justru mengeluarkan darah segar yang mengalir deras dan menyebabkan bau anyir yang menyengat. Dengan segera mereka mencari tahu benda apa yang sebenarnya tengah diduduki oleh mereka itu.

“Teman-teman, nasib kita sepertinya sedang baik. Ini bukan pohon tumbang, tetapi ular raksasa yang sedang tertidur. Mari kita potong dan bawa ke desa untuk dibuat hidangan yang lezat!,” seru Kepala Desa pemimpin perburuan dikutip dari situs dunia pendidikan.

Mereka tidak tahu kalau ular yang mereka potong itu ternyata Baru Klinthing, putra dari pertapa sakti Ki Hajar Salokantara dan istrinya Nyai Selakanta yang berasal dari Desa Ngasem. Baru Klinthing yang sedang bertapa untuk memperdalam ilmu kanuragan dengan cara melingkari Gunung Telomoyo. Kalau warga Desa Pathok tahu, mereka pasti mengurungkan niatnya menjadikan Baru Klinthing sebagai santapan karena akibat dari perbuatan itu sungguh sangat luar biasa.

Ular raksasa Baru Klinthing itu berubah wujud menjadi anak kecil yang kurus kering serta berbau amis seperti tidak pernah mandi selama berhari-hari. Yang kemudian ia bergabung dengan warga Desa Pathok yang sedang mengadakan syukuran sedekah bumi. Tetapi ketika ia meminta makan dan minum, tidak ada seorang penduduk pun yang mau memberinya. Semua orang yang ditemuinya selalu menghardik dan mengusir dengan kasar.

“Pergi kau pengemis kecil dasar jorok dan bau! Makanan di perutku dapat dimuntahkan kalau terus melihatmu! Sana pergi mengemislah di tempat lain. Di sini tidak ada tempat untukmu!,” bentak salah satu warga dan mengayunkan tongkat pada Baru Klinthing.

Air mata jatuh membasahi pipinya yang tirus. Sungguh kejam perbuatan penduduk Desa Pathok. Mereka memang orang kaya, namun hati dan perangainya sangatlah miskin, jauh dari sifat dermawan yang belas kasih. Di tengah keputus asaannya, Baru Klinthing tiba di sebuah rumah sederhana salah seorang penduduk desa yang bernama Nyi Latung.

“Masuklah ke rumahku, Nak. Jangan menangis di luar seperti itu. kalau kau lapar, Nenek punya sedikit makanan untukmu,” pinta Nyi Latung dan menggandeng Baru Klinthing dengan lembut untuk masuk ke dalam rumahnya. Baru Klinthing menceritakan kejadian yang dia alami dengan penduduk desa.

“Nenek paham perasaanmu, Nak. Penduduk Desa ini memang terkenal tamak serta sombong. Sifat mereka semakin menjadi-jadi. Nenek coba mengingatkan mereka namun malah dikucilkan. Tetapi tidak apa-apa, Nenek tidak marah. Suatu hari Tuhan pasti membalas perbuatan mereka,” jelas Nyi Latung sambil menyiapkan hidangan sederhana untuk Baru Klinthing.

Seperti nasi, sayur lodeh dan tempe goreng. Meskipun tidak mewah, Baru Klinthing tetap menikmati hidangan itu. Setelah selesai makan serta istirahat secukupnya, ia pamit pada Nyi Latung yang tinggal seorang diri. Sebelum pergi Baru Klinthing berpesan pada Nyi Latung untuk naik ke lesung dan menyiapkan kayuh kalau tiba-tiba terdengar suara kentongan yang bertalu-talu. Nyi Latung mendengarkan pesan itu karena ia tahu bahwa anak kecil yang ditolongnya bukan anak biasa. Baru Klinthing lalu pergi ke lapangan desa ketempat para penduduk berpesta.

Di tengah kerumunan orang banyak, dia menancapkan sebuah batang lidi lalu menantang siapa yang bisa mencabutnya.

“Di kantung yang sedang aku genggam ini, terdapat puluhan keping uang emas yang akan aku berikan untuk siapa saja yang bisa mencabut lidi di hadapanku ini,” kata Baru Klinthing lantang, membuat mata semua orang terbelalak kaget ternyata pengemis kecil yang diusir tadi mempunyai banyak kekayaan.

Karena rasa tamak serta rakusnya, para penduduk desa mulai maju satu persatu guna mencabut lidi yang ditancapkan oleh Baru Klinthing. Tetapi sampai orang terakhir, tidak ada satu pun orang yang berhasil. Bahkan walau dicabut beramai-ramai, mereka masih tetap gagal. Lalu Baru Klinthing maju dan mencabut lidi yang dia tancapkan di tanah itu. Tak lama kemudian keluarlah air yang deras dari bekas lubang lidi tersebut.

Para penduduk desa lalu memukul kentongan bertalu-talu untuk memberi tahu yang lain supaya menyelamatkan diri karena datang banjir bandang yang secara tiba-tiba. Tetapi berapa keras usaha mereka, tidak ada satu pun orang yang selamat dari sapuan air bah itu. 

Semuanya tewas tenggelam karena banjir kecuali janda tua yang memberi makan Baru Klinthingtadi. Nyi Latung selamat dan berhasil keluar dari desanya yang kini berubah menjadi sebuah danau raksasa yang diberi nama Rawa Pening. Banyak yang berspekulasi bahwa Baru Klinting yang tinggal di Rawa Pening inilah yang meminta tumbal.

Keberadaan kerajaan mahluk halus Di atas danau seluas 2.670 hektare ini terdapat tiga buah jembatan besar, yang pertama adalah jembatan utama yang berada di Jalan Raya Solo-Semarang, yang kedua adalah jembatan yang letaknya di antara jembatan utama dan bendungan, lalu yang terakhir adalah jembatan rel kereta api Ambarawa-Tuntang yang merupakan peninggalan Belanda.

Menurut orang-orang pintar, ada tiga kerajaan mahluk halus yang berdiri di sekitar Rawa Pening. Kerajaan pertama letaknya di sekitar danau yang ada di Rawa Pening. Kemudian, kerajaan mahluk halus yang kedua bertempat di antara jembatan utama dan jembatan rel kereta api. 

Selanjutnya, kerajaan terakhir ini berdiri di antara jembatan kedua. Belum ada yang pernah membuktikan misteri Rawa Pening yang satu ini. Namun, banyak orang yang mengaitkan tragedi kecelakaan atau orang tenggelam di Rawa Pening karena ulah penghuni kerajaan mahluk halus ini.

Mencari kerang dengan kakek gaib. Kisah kakek gaib peregang nyawa ini juga menjadi misteri Rawa Pening yang ditakuti oleh masyarakat sekitar. Kejadian ini bermula pada saat lima orang anak bermain di sekitar danau. Tiba-tiba mereka didatangi oleh seorang kakek untuk mencari kerang di sekitar danau. Karena airnya sangat bening, maka disebutlah Rawa Pening yang berada di Kabupaten Semarang, Jawa Tengah.***

Editor : Ditya Arnanta

Follow Whatsapp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
Lihat Berita Lainnya
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut