Filosofinya gula metah adalah masyarakat Jawa dan kacangnya diibaratkan warga Thionghua.
"Itu sudah biasa. Sudah ada sejak dulu, dan sampai sekarang tidak ada masalah," lanjut Sumartono.
Menurut Sumartono dalam pernikahan itu kunci utamanya adalah cinta. Orang menikah pastinya ada sesuatu yang mendukung untuk hidup bersama.
"Pasangan akan saling mengisi dengan segala perbedaanya. Ya ibaratnya campuran gula dan kacang menghasilkan rasa yang gurih dan manis, sama keberagaman. Perbedaan rasa itu indah jika kita bisa menyikapinya dengan benar,” pesan Sumartono.
Seperti pernikahan antar etnis di Balong yang akhirnya melahirkan generasi baru yang sudah berdarah campuran. Maka tak heran dikawasan kampung Balong kebanyakan sudah berdarah campuran. Berkulit kuning coklat dan bermata sipit.
Suara Adzan dan bau harum dupa di kawasan Balong adalah pemandang yang biasa dan sudah bersinergi dalam keseharian warga Balong. Ada suara orang mengaji, ada juga yang bersembahyang di Klenteng. Semuanya hidup berampingan tidak pernah menjadi konflik antar tetangga.
Menurut Sumartono saat ini dengan adanya kemajuan tekhnologi bukan hanya kawin ampyang saja yang bisa terjadi.
Kemajuan tekhnologi akan menjadi dorongan untuk masyrakat dalam mencari jodoh dalam satu suku dalam satu negara.
"Adanya kemajuan teknologi seperti perkembangan media sosial yang memungkinkan masyarakat bisa berinteraksi dengan masyarakat dalam belahan dunia lain. Sehingga perkawinan tidak terbatas beda suku dalam satu negara. Namun kedepannya bisa saja terjadi antar negara," jelasnya lagi.
Sumartono mencontohkan keluarganya sendiri juga banyak yang melakukan pernikahan beda suku bahkan beda kepercayaan. Namun semuanya baik-baik saja.
Kuncinya adalah kasih dan juga toleransi dan menghormati keberagaman.***
Editor : Ditya Arnanta