get app
inews
Aa Text
Read Next : Jokowi Pulang ke Solo, Ribuan Warga Rela Menunggu Selama 3 Jam

Melihat Harmoni Kultural Kawin Ampyang di Kampung Pecinan Solo

Sabtu, 21 Januari 2023 | 17:02 WIB
header img
Kemeriahan Imlek di kota Solo begitu terasa seperti halnya pernikahan antar etnis Jawa dan Tionghoa yang biasa disebut dengan Nikah ampyang juga terjadi di kota Solo (Foto: iNewskaranganyar.id/Bramantyo)

SOLO, iNewskaranganyar.id - Tradisi pembauran antara etnis Jawa dan Tionghoa di kota Bengawan sudah lama terjadi.

Salah satunya terjadi di kawasan kampung Balong, Kelurahan Sudiroprajan, Solo, Jawa tengah.

Kawasan kampung yang berderet dengan rumah yang berhimpitan satu sama lain.

Selain digunakan untuk rumah tinggal juga digunakan sebagai tempat usaha. Di kawasan inilah muncul istilah 'kawin ampyang'.

Kawasan Balong yang sebagai salah satu kawasan pecinan, sejak puluhan tahun lalu hidup berdampingan dengan aman dan damai. Bahkan sejak jaman lampau sudah banyak warga yang melakukan kawin campur.

Salah satu tokoh Perkumpulan Masyarakat Surakarta (PMS) Sumartono Hadinoto mengatakan mereka sudah berinteraksi membentuk keluarga baru dari dua suku yang berbeda sejak puluhan tahun lalu.

"Kawasan itu banyak keluarga multi ernis, multi budaya, juga agama," jelasnya belum lama ini.

Tradisi perkawinan antar etnis di Solo ini biasa disebut 'kawin ampyang'. Hampir semua warga melakukan kawin ampyang dan bukan suatu hal aneh lagi.

Istilah kawin ampyang ini, lanjut Sumartono diibaratkan ampyang yang terbuat dari gula merah dan kacang tanah.

Filosofinya gula metah adalah masyarakat Jawa dan kacangnya diibaratkan warga Thionghua.

"Itu sudah  biasa. Sudah ada sejak dulu, dan sampai sekarang tidak ada masalah," lanjut Sumartono.

Menurut Sumartono dalam pernikahan itu kunci utamanya adalah cinta. Orang menikah pastinya ada sesuatu yang mendukung untuk hidup bersama.

"Pasangan akan saling mengisi dengan segala perbedaanya. Ya ibaratnya campuran gula dan kacang menghasilkan rasa yang gurih dan manis, sama keberagaman. Perbedaan rasa itu indah jika kita bisa menyikapinya dengan benar,” pesan  Sumartono.

Seperti pernikahan antar etnis di Balong yang akhirnya melahirkan generasi baru yang sudah berdarah campuran. Maka tak heran dikawasan kampung Balong  kebanyakan sudah berdarah campuran. Berkulit kuning coklat dan bermata sipit.

Suara Adzan dan bau harum dupa di kawasan Balong adalah pemandang yang biasa dan sudah bersinergi dalam keseharian warga Balong. Ada suara orang mengaji, ada juga yang bersembahyang di Klenteng. Semuanya hidup berampingan  tidak pernah menjadi konflik antar tetangga.

Menurut Sumartono saat ini dengan adanya kemajuan tekhnologi bukan hanya kawin ampyang saja yang bisa terjadi.

Kemajuan tekhnologi akan menjadi dorongan untuk masyrakat dalam mencari jodoh dalam satu suku dalam satu negara.

"Adanya kemajuan teknologi seperti perkembangan media sosial yang memungkinkan masyarakat bisa berinteraksi dengan masyarakat dalam belahan dunia lain. Sehingga perkawinan tidak terbatas beda suku dalam satu negara. Namun kedepannya bisa saja terjadi antar negara," jelasnya lagi.

Sumartono mencontohkan keluarganya sendiri juga banyak yang melakukan pernikahan beda suku bahkan beda kepercayaan. Namun semuanya baik-baik saja.
Kuncinya adalah kasih dan juga toleransi dan menghormati keberagaman.***

Editor : Ditya Arnanta

Follow Whatsapp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
Lihat Berita Lainnya
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut