Bandara Adi Soemarmo Dorong Revolusi Hijau di Sekolah Lewat Pengelolaan Sampah Organik
BOYOLALI, iNewskaranganyar.id - Di tengah derasnya arus digitalisasi dan modernisasi pendidikan, ada satu langkah nyata yang dilakukan Bandara Adi Soemarmo dalam membangun kesadaran lingkungan generasi muda.
Lewat program bertajuk Pilah Pilih Sampah Organik, mereka menyentuh sisi yang sering terlupakan: pentingnya edukasi lingkungan yang aplikatif dan berdampak langsung.
Program ini menyasar dua sekolah di Boyolali—SMAN 1 Ngemplak dan SMA Pradita Dirgantara—yang masing-masing menerima kunjungan dan dukungan alat pengolahan sampah organik.
SMAN 1 Ngemplak mendapat kunjungan pada 15 Januari, sementara SMA Pradita Dirgantara menyusul pada 26 April 2025.
Bukan sekadar kampanye satu arah, kegiatan ini menyuguhkan pengalaman belajar yang benar-benar interaktif.
Para siswa tak hanya mendengarkan materi tentang pengelolaan sampah, mereka juga dilibatkan langsung dalam proses pemilahan dan pengolahan limbah organik. Di sinilah peran maggot dan komposter menjadi pusat perhatian.
Maggot: Larva Kecil, Manfaat Besar
Banyak yang belum tahu, bahwa maggot—atau larva lalat Black Soldier Fly—merupakan makhluk hidup yang sangat efektif dalam mengurai sampah organik.
Dalam waktu singkat, maggot mampu menghabiskan limbah makanan yang biasanya hanya menumpuk di tempat sampah.
Lebih hebat lagi, hasil akhirnya pun berguna: maggot bisa menjadi pakan ternak berprotein tinggi, sedangkan kotorannya (dikenal sebagai kasgot) dapat dimanfaatkan sebagai pupuk organik berkualitas.
Dalam program ini, Bandara Adi Soemarmo menyediakan satu set kandang maggot, kandang lalat, komposter putar, dan berbagai peralatan pengelolaan lainnya untuk mendukung praktik nyata di sekolah.
Edukasi yang Menanamkan Tanggung Jawab
Erick Rofiq Nurdin, General Manager Bandara Adi Soemarmo, menegaskan bahwa program ini bukan sekadar bentuk kepedulian sosial. Ia melihatnya sebagai investasi jangka panjang terhadap masa depan bangsa.
“Selama ini, banyak sampah organik yang dibuang begitu saja tanpa pengelolaan. Padahal, jika dikelola dengan baik, sampah organik punya nilai ekonomi dan ekologis yang tinggi. Kami ingin para siswa memahami ini dan menjadikannya bagian dari kebiasaan,” ujar Erick.
Lebih dari itu, Erick berharap kegiatan ini dapat berkembang menjadi laboratorium kecil di sekolah.
Editor : Ditya Arnanta