"Mereka yang kini masuk 10 besar hanya karena berasal dari induk organisasi tertentu, sebut saja salah satunya jaringan alumni GMNI dan yang lainnya. Coba telisik saja nama-nama yang masuk 10 besar calon KPU Kabupaten maupun Kota di Jawa Tengah, terutama di Soloraya," kata Basori.
"Dimana 70 persen sampai 80 persen adalah kader-kader GMNI yang ditempatkan di masing-masing Kabupaten,”tambahnya.
Basori mengemukakan, banyaknya kader-kader GMNI masuk 10 besar tersebut tidak bisa dilihat berdiri sendiri atau secara kebetulan. Sebab, lanjut Basori, mereka mempunyai kualitas dan kualifikasi sebagai penyelenggara Pemilu.
"Ada campur tangan intervensi dari komisioner KPU RI yang disana menghendaki komisioner KPU Kabupaten maupun Kota mayoritas adalah kader-kader GMNI. Karena salah satu komisioner KPU RI Yulianto Sudrajat adalah alumni GMNI, sehingga dia mempunyai kepentingan untuk mendudukkan kader-kadernya menjadi komisioner KPU dilevel bawahnya dengan cara memasang Timsel sehingga penempatan ini dimulai sejak dari penempatan Timsel yang terbagi dalam zona di beberapa Kabupaten/kota," bebernya.
Kendati demikian, terkait dengan kondisi tersebut, PSI Kabupaten Boyolali menyatakan menolak hasil seleksi KPU dan Bawaslu di Kabupaten Boyolali dan kabupaten maupun Kota di Provinsi Jawa Tengah.
Terpisah, Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) Jawa Tengah pun juga membeberkan adanya temuan dugaan kecurangan dalam proses seleksi tersebut.
Juru bicara OMS Jawa Tengah, Ronny Maryanto menjelaskan, pihaknya telah menemukan salah satu incumbent di Kabupaten Sragen mendapat peringatan keras. Kata Ronny, justru incumbent tersebut lolos 10 besar.
"Terus ada lagi di Sragen ada incumbent yang pernah diberi peringatan keras oleh DKPP, tetapi lolos di 10 besar calon Bawaslu Kabupaten Sragen," jelas Ronny Maryanto.
"Dengan temuan tersebut kami menyayangkan seleksi penyelenggara Pemilu 2024 dilakukan secara serampangan dan jauh dari fairness," pungkasnya.***
Editor : Ditya Arnanta