Salah satu putri Raja Pakubuwono XII, GKR Wandansari Koes Moertiyah atau Gusti Moeng mengatakan Kota Tua di Solo itu keberadaannya tidak berada dalam satu lokasi seperti Kota Tua di daerah lain. Kota Tua di Solo, letaknya tersebar dibeberapa tempat di Kota Solo.
"Kota Tua di Solo itu letaknya tersebar di beberapa tempat. Tidak berkumpul menjadi satu,"papar Gusti Moeng belum lama ini pada iNewskaranganyar.id.
Siti Hinggil Keraton Kasunanan termasuk salah satu Kota Tua Solo (Foto:iNewskaranganyar.id/Bramantyo)
Menurut Gusti Moeng, untuk menelusuri cikal bakal Kota Tua di Solo, dimulai dari daerah dibagian utara Kota Solo. Pasalnya, daerah di Solo yang paling pas disebut sebagai Kota Tua adalah dibagian utara Kota Solo, atau tepatnya di utara Laweyan.
Daerah tersebut dahulunya bernama Pamanahan. Yang sekarang berubah menjadi nama menjadi Manahan. Kenapa daerah itu disebut Kota Tuannya Solo. Karena didaerah tersebut, ungkap Gusti Moeng, pernah tinggal putra dari Ki Ageng Enis dan cucu Ki Ageng Sela, yaitu Ki Gede Pamanahan atau Kyai Gede Mataram saat jaman Kerajaan Pajang. Kala itu,Ki Gede Pamanahan diangkat menjadi lurah wiratama oleh bupati Pajang.
Dulunya didaerah ini terdapat sebuah petilasan berupa sendhang (kolam mata air) yang konon menjadi tempat Ki Gede Pamanahan biasa membersihkan diri. Namun sayangnya disaat ini, keberadaan sendang yang dipakai pendiri desa Mataram ditahun 1556 untuk membersihkan diri itu sudah sangat sulit ditemukan.
Kendati kala itu Pangeran Adipati Mangkunegara VII membangunkan tembok yang mengelilingi tempat tersebut.
"Kemudian daerah yang disebut Kota Tua di Solo itu, ya, Siti Hinggil (salah satu bangunan diareal Kraton Kasunanan) ini juga termasuk Kota Tuanya Solo, selain Keraton. Waktu itu Susuhunan Pakubuwana II membeli tanah seharga selaksa keping emas yang diberikan kepada akuwu (lurah) Desa Sala yang dikenal sebagai Ki Gede Sala,"paparnya.
Putri Raja Pakubuwono XII GKR Wandansari atau Gusti Moeng mengutarakan Kota Tua Solo (Foto: iNewskaranganyar/Bramantyo)
Menurut Gusti Moeng, setelah Susuhunan Pakubuwana II memegang tampuk pemerintahan, Kerajaan Mataram yang sudah dalam keadaan kacau balau setelah mendapat serbuan dari pemberontakan orang-orang Tionghoa yang mendapat dukungan dari orang-orang Jawa anti VOC tahun 1742, dipindahkan ke sebuah Desa bernama Sala.
Di Desa Sala inilah Pakubuwono ke II mendirikan istana baru sebagai ibu kota Mataram yang baru. Menurut Gusti Moeng, saat itu space area di sekitar Gladag dan gapura dipakai sebagai tempat menyimpan binatang hasil buruan.
Disinilah Keraton kerap menggelar upacara-upacara yang melibatkan rakyatnya. Dan akhirnya, daerah disekitar Kraton, selain menjadi tempat tinggal para bangsawan, juga mulai ditempati berbagai etnis. Mulai dari Arab dan China.
"Kalau ditanya kenapa sekarang tidak bisa terpusat seperti daerah lainnya ya dikarenakan kultur masyarakat itu sendiri. Ditambah, munculnya pergolakan-pergolakan yang membuat beberapa tempat yang tadinya jadi satu, menjadi terpecah-pecah,"paparnya.
Editor : Ditya Arnanta
Artikel Terkait