KARANGANYAR, iNewskaranganyar.id - Sumpah Brawijaya di puncak Gunung Lawu masih menjadi misteri hingga saat ini. Karena sumpah raja terakhir dari Kerajaan besar di Nusantara yang mengasingkan diri di puncak Gunung Lawu inilah, masyarakat Cepu, yang diyakini masih keturunan dari Adipati Cepu hingga kini tak berani mendaki ke gunung yang dipercaya sebagai pakunya pulau Jawa.
Brawiaya V adalah raja terahir dari Kerajaan Majapahit. Meski dikabarkan menghabiskan sisa umur di Gunung Lawu dalam pengasingannya, namun tidak ada satupun yang mengetahui persis dimana makan sang raja itu berada. Diyakini, penguasa Majapahit itu menghilang tak berbekas dalam pengasingannya.
Berdasar cerita yang beredar di masyarakat sekitar wilayah Gunung Lawu ini terkenal sebagai tempat mengasingkan diri bagi Brawijaya yaitu, raja Majapahit terakhir untuk menjadi pertapa di dampingi abdi dalem setianya Sabdo Palon dan Noyo Genggong.
Gunung yang membelah dua propinsi yakni Jawa Tengah dan Jawa Timur, Lawu terkenal akan keindahan alamnya yang kaya akan keragaman flaora dan fauna.
Sampai saat masih sangat terjaga kelestariannya. Hal terjadi karena masyarakat sangat takut merusak hutan sekitar Lawu.
Karena akan terkena tuah oleh penjaga gunung Lawu. Karena itu kepercayaan masyarakat sekitar jika kita menjaga alam maka alampun akan menjaga kita dengan baik. Simple dan sarat makna.
Untuk jalur pendakian menuju puncak Gunung Lawu, terdapat empat jalur pendakian yang biasa dilalui para pendaki. Jalur pendakian Cemoro Kandang terdapat di Desa Blumbangan, Tawangmangu, Karanganyar.
Jalur pendakian Cemoro Sewu dari Magetan, Jawa Timur, jalur pendakian Candi Cetho Karanganyar dan jalur pendakian Jogorogo, Ngawi.
Selain itu menurut salah satu spiritual Budiyanto menjelaskan, Lawu bisa di katakan gunung jaman purbakala. Pernah meletus hebat dan dahsyat.
Buktinya secara nyata adanya batu-batu berukuran sangat besar yang banyak sekali bertebaran di wilayah sekitar kaki gunung lawu.
"Contohnya batu yang ada di depan monumen Bu Tien, di desa Jaten. Ukurannya cukup besar dan dan sangat berat. Belum lagi yang berada di wilayah Matesih, Karangpandan dan yang lainnya, " jelasnya.
Menurut Budiyanto, Lawu menjadi salah satu pusat budaya dan tempat sakral di pulau Jawa. Erat kaitannya dengan Majapahit. Karena banyak sekali peninggalan Majapahit di gunung Lawu dan sekitarnya. Sebagai bagian sejarah peninggalan yang sampai saat ini masih dapat dinikmati keindahaanya.
"Misalnya Candi Ceto, Candi Sukuh, juga petilasan Raden Brawijaya di puncak Lawu yakni Cungkup (rumah kecil yang ditengah-tengahnya terdapat kuburan)," jelasnya.
Konon Gunung Lawu di keramatkan karena lawu menjadi tempat pelarian Prabu Brawijaya dari kejaran anaknya Raden Patah. Di sana terdapat batu nisan yang di percaya merupakan Petilasan Prabu Brawijaya, yang oleh penduduk sekitar di sebut Sunan Lawu.
Menurut cerita yang beredar di masyarakat seputar Lawu, Raden Brawijaya lari ke Gunung lawu karena mendapat wangsit bahwa kejayaan Majapahit dengan kepercayaan hindu akan memudar dan diganti dengan kejayaan Kerajaan baru yaitu Demak.
Raden Patah sangat berharap agar ayahnya mau mengikuti kepercayaan Raden Patah. Namun Prabu Brawijaya menolak dan memilih menghindar dari pertumpahan darah.
Selain itu menjauh dari kejaran putranya Brawijaya juga menghindar juga dari pasukan Adipati Cepu yang memiliki dendam kesumat kepada Prabu Brawijaya.
Terlebih lagi Majapahit mulai runtuh, maka Adipati Cepu semakin berani menentang Brawijaya. Prabu Brawijaya lari ke arah puncak Gunung Lawu melalui hutan belantara.
Karena kecewa dan sakit hati terus di kejar pasukan adipati Cepu, maka terucaplah sumpah yang isinya orang dari daerah Cepu dan juga keturunan dari Adipati Cepu di larang naik ke Gunung Lawu jika mereka melanggar akan mendapat celaka. Sampai saat ini pendaki dari daerah tersebut masih takut jika melanggar.***
Editor : Ditya Arnanta