BOGOR, iNewskaranganyar.id - Masyarakat Bogor dan sekitarnya tentu sudah tak asing lagi dengan Gunung Batu Jonggol ini. Gunung Batu Jonggol ini terletak di Desa Sukaharja, Sukamakmur, Bogor, Jawa Barat.
Sama seperti Gunung lainnya di Indonesia, Gunung Batu Jonggol juga termasuk salah satu lokasi wisata yang kerap dikunjungi masyarakat. Keindahan alam Gunung yang memiliki ketinggian sekira 875 Mdpl atau sekira 2.871 kaki ini membuat Gunung batu Jonggol termasuk salah satu wisata populer di Kota hujan,Bogor, Jawa Barat.
Seperti dikutip iNewskaranganyar.id dari Wikepedia, banyak Orang mengenal Gunung ini dengan sebutan Gunung Batu Jonggol meski secara Administratif Gunung ini masuk dalam kecamatan Sukamakmur lebih tepatnya di Desa Sukaharja, Sukamakmur, Kabupaten Bogor.
Karena, Sukamakmur dianggap bagian yang tidak terpisahkan dari Jonggol. Sukamakmur adalah pemekaran dari kecamatan Jonggol dan berada di Wilayah eks Kawedanan Jonggol bersama Cileungsi, Klapanunggal, Gunung Putri, Cariu, dan Tanjungsari.
Gunung Batu hanyalah gunung atau bukit kecil di wilayah eks Kawedanan Jonggol. Sebenarnya ada banyak Gunung yang lebih tinggi dari Gunung Batu di Wilayah Jonggol.
Seperti Gunung Baud Jonggol 1889 mdpl dan Gunung Dahamilnuris 1750 mdpl di Sukawangi, Gunung Kencana 1850 di hutan Cipamingkis perbatasan dengan Kecamatan Cisarua, Bogor dan masih banyak gunung dengan ketinggian >1000 mdpl di Wilayah Jonggol.
Di Gunung Batu terdapat hewan langka yang erat kaitannya dengan cerita rakyat di Jawa Barat, yaitu Lutung Kasarung. Di Gunung Batu Jonggol ini primata Lutung Kasarung ini tinggal.
Bagi masyarakat Jawa Barat, primata Lutung Kasarung ini begitu akrab. Konon menerut cerita, primata Lutung Kasarung yang hingga kini bermukim di Gunung Batu Jonggol merupakan keturunan dari pangeran tampan bernama Sanghyang Guruminda yang dihukum dengan dibuang ke bumi karena melakukan kesalahan di kayangan dalam wujud seekor lutung.
Lutung Kasarung dalam bahasa Sunda berarti lutung yang tersesat. Lutung adalah sejenis kera dengan bulu lebat berwarna hitam legam dengan ekor yang panjang. Cerita Lutung Kasarung ini dikaitkan dengan seorang putri dari Kerajaan Pasir Batang bernama Putri Purbasari.
Menjelang akhir hayat nya sang raja menunjuk putri bungsunya untuk melanjutkan takhta kerajaan.
Hal ini memicu rasa iri Purbararang terhadap sang adik. Didasari rasa iri dan dengki yang menggebu-gebu membuat Purbararang nekat ingin mencelakai Purbasari.
Purbararang lalu menemui seorang penyihir untuk memantrai Purbasari agar menjadi buruk rupa. Sekejap kulit Purbasari berubah dipenuhi totol-totol hitam yang menjijikkan.
Saat itu juga Purbararang menyuruh seorang Patih untuk mengasingkan Purbasari. Sang Patih sempat berpesan kepada Purbasari bahwa setiap cobaan yang diberikan oleh tuhan pasti akan ada solusinya.
Purbasari menjalani kehidupan di tengah hutan bersama hewan-hewan, salah satunya adalah Lutung Kasarung. Singkat cerita Lutung Kasarung menyuruh Purbasari untuk mandi di sebuah telaga.
Selain cerita rakyat Lutung Kasarung, kawanan ini sebenarnya katagori sangat pemalu dan takut melihat kedatangan para pendaki, sehingga para pendaki jarang sempat mengabadikannya.
kondisi cukup memprihatinkan dengan semakin sempitnya lahan untuk mereka mencari makan, di kaki gunung batu terdapat tambang batu yg mungkin suatu saat akan semakin meluas ke atas, juga pembuatan akses jalanan yang melingar di sisi gunung.
Gunung yang berada di Desa Suka Makmur, Jonggol, Kabupaten Jonggol memiliki mitos lain selain Lutung Kasarung.
Meski Gunung ini tidak begitu tinggi dibandingkan gunung lainnya yang ada di Jawa Barat, namun para pendaki tidak boleh meremehkan gunung yang lebih pas disebut bukit ini. Pasalnya, Gunung Batu memiliki tanjakan-tanjakan yang bisa dibilang cukup ekstrem dan menguras tenaga.
Tidak hanya tanjakan yang ekstrem, jalur-jalur pendakian yang curam dan licin pun jadi senjata andalan Gunung Batu, yang disimpan bagi para pendaki yang meremehkannya.
Beberapa kali peristiwa tergelincirnya pendaki yang kurang berhati-hati pernah terjadi, salah satunya diabadikan dengan papan plat yang tertulis nama Andri Cahya Nugraha.***
Editor : Ditya Arnanta