Sebab, ibadah mengajak orang sahur tidak boleh menelantarkan kewajiban kita untuk tidak mengusik ketenteraman orang lain. Contoh lain di sekitar tentang hamba yang terperdaya ini adalah ketika seseorang sibuk soal shalat tarawih, memperdebatkan jumlah rakaatnya yang paling afdhal, menghujat pihak yang tidak sepaham, lalu menimbulkan pertengkaran antarkompok tidak sepaham.
Padahal, melaksakan shalat tarawih adalah sunnah, sementara menjaga kerukunan dan persatuan adalah wajib. Terawih adalah perbuatan baik. Namun akan sayang sekali bila perbuatan baik tersebut lantas mengorbankan perbuatan lain yang lebih baik.
Jamaah shalat jum'at hafidhakumullah, Seorang terperdaya dengan ibadahnya juga ketika ia terlalu sibuk dengan tampilan luar daripada substansi. Misalnya pada kasus orang bertadarus Al-Qur'an.
Mungkin ia sanggup mengkhatamkannya hanya dalam sehari semalam, menikmati tiap nada lantunan yang diekspresikan. Namun saat hatinya melayang-layang pada urusan duniawi, lupa akan makna lafal yang dibaca, hamba itu sesungguhnya sedang tertipu.
Menurut Al-Ghazali, substansi membaca Al-Qur'an adalah meresapi makna di dalamnya. Sebab lezatnya Al-Qur'an bersumber dari makna, bukan dari lagu atau keindahan suara pembacanya. Soal mengabaikan substansi ini sering kita dapati dalam banyak kasus ibadah-ibadah lain.
Wudhu, sembahyang, sedekah, sekolah, puasa, zakat, haji, umrah, ikut pengajian, dan sejenisnya. Kerapkali perkara-perkara teknis mengalihkan fokus orang dari peduli terhadap tujuan dan aspek-aspek yang lebih substansial.
Belum lagi bila ibadah-ibadah itu kemudian ditempeli sifat-sifat tercela, seperti pamer, bangga diri, ingin dipuji, dan lain-lain. Penjelasan ini bukan berarti ibadah-ibadah yang sunnah tidak penting, atau perkara teknis sama sekali tidak dibutuhkan.
Keterangan ghurur tersebut hendak mengingatkan kita bahwa jangan sampai urusan-urusan sekunder itu membuat kita lalai akan urusan-urusan primer, ibadah sunnah mengantarkan kita untuk mengabaikan ibadah wajib.
Yang ideal tentu saja adalah kita sanggup melaksanakan kedua-duanya secara maksimal. Semoga penjelasan ini mampu mengoreksi ibadah-ibadah alfaqir (khatib) pribadi dan jamaah sekalian sehingga kita semua bisa melewati sisa-sisa hari Ramadhan dengan lebih baik. Amiin ya rabbal ‘âlamîn. Wallâhu a‘lam bish shawâb.
بَارَكَ الله لِي وَلَكُمْ فِى اْلقُرْآنِ اْلعَظِيْمِ، وَنَفَعَنِي وَإِيَّاكُمْ بِمَافِيْهِ مِنْ آيَةِ وَذِكْرِ الْحَكِيْمِ وَتَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ وَإِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ العَلِيْمُ، وَأَقُوْلُ قَوْلِي هَذَا فَأسْتَغْفِرُ اللهَ العَظِيْمَ إِنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُ الرَّحِيْم
Sumber: Nu online
Editor : Bramantyo