BANJAR, iNewskaranganyar.id - Masjid Al-Mansur atau semula bernama Masjid Jami Kampung Sawah, adalah salah satu masjid tua di wilayah DKI Jakarta.
Mengambil nama Guru Mansur (1878-1967), masjid yang terletak di Kelurahan Jembatan Lima, Kecamatan Tambora, Jakarta Barat, ini dibangun pada tahun 1717.
Seperti di kutip iNewskaranganyar.id dari Wikipedia, menurut inskripsi yang terdapat pada menara masjid, bangunan ini didirikan tahun 1130 Hijiriah atau 1717 Masehi.
Pada saat itu disebut Masjid Kampung Sawah, rumah ibadah ini dibangun oleh Abdul Mihit (Abdul Mukhit, menurut sejarawan Ridwan Saidi), putera Pangeran Cakrajaya dari Mataram.
Guru Mansur yang bernama lengkap Muhammad Mansur bin Imam Abdul Hamid adalah piut atau canggah dari Abdul Mukhit pendiri Masjid Kampung Sawah tersebut.
Guru adalah julukan yang diberikan orang-orang Betawi terhadap ulama yang diakui kepakaran dan kedalaman ilmunya, sehingga diakui otoritasnya untuk mengeluarkan fatwa.
Bapak, kakek, dan buyut Guru Mansur adalah ulama-ulama Betawi yang diakui keilmuannya. Pada tanggal 4 Safar 1186 H, Masjid Kampung Sawah dikunjungi ulama besar Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, tatkala itu baru kembali dari Mekkah dan singgah di Betawi, untuk bersilaturahim sekaligus diminta untuk mengoreksi arah kiblat masjid ini.
Ulama Besar dari Banjar, Syaikh Muhammad Arsyad al-Banjari ini lahir di Lok Gabang, Astambul, Banjar pada 17 Maret 1710. Beliau wafat di Dalam Pagar Martapura, Banjar pada 3 Oktober 1812 di usianya yang ke 102 tahun
Sosok Ulama Besar dari Banjar
Semasa hidupnya, ulama besar dari Banjar ini dijuluki anumerta Datu Kelampaian. Sebagai ulama fiqih mazhab Syafi’i, Syaikh Muhammad Arsyad al-Banjari pun menghasilkan karya Kitab Sabilal Muhtadin. Kitab ini bahkan menjadi rujukan pemeluk Islam di Asia Tenggara.
Selain membuat Kitab Sabilal Muhtadin, Syaikh Muhammad Arsyad al-Banjari membuat kitab qiraat. Karya itu bahkan di kenal di Makkah. Sumber kibat itu rupanya Imam asy-Syatibi. Uniknya, setiap juz dalam kitab itu ada kaligarafi khas Banjar.
Belajar di Arab hingga Kembali ke Kalsel
Ulama Besar dari Banjar ini selama belajar di Mekkah dan Madinah, punya mengembang ilmu bersama tiga ulama Indonesia lainnya. Mereka yakni, Syekh Abdurrahman Mesri dari Betawi, Syekh Abdus Shomad al-Palembani dari Palembang dan Syekh Abdul Wahab Bugis.
Dilansir dari portal resmi Universitas Islam An Nur Lampung, para ulama ini bahkan dijuluki Empat Serangkai yang belajar di al-Haramain asy-Syarifain.
Beliau yang saat itu hendak kembali ke Kalimantan Selatan rupanya singgah ke Jakarta. Saat itu, Syaikh Muhammad Arsyad al-Banjari dikisahkan ikut berjasa memberikan arah kiblat Masjid Jembatan Lima di Jakarta.
Sambutan dari Raja Banjar Sultan Tahmidullah
Ulama Besar dari Banjar, Syaikh Muhammad Arsyad al-Banjari itu akhirnya tiba kembali ke kampung halaman pada Ramadhan 1186 H atau tahun 1772 M. Kedatangannya bahakn disambut Raja Banjar, Sultan Tahmidullah dan warga.
Syaikh Muhammad Arsyad al-Banjari digaungkan sebagai ulama Matahari Agama. Ulama asal Banjar itu pun tidak hanya berdakwah di masyarakat melainkan ke keluarga kerajaan juga.
Sebelum wafat, Syaikh Muhammad Arsyad al-Banjari berwasiat agar bisa dimakamkan di tempat istrinya Tuan Bajut jika sungai dapat dilayari. Namun, saat itu air sedang surut sehingga beliau dimakamkan di Kalampayan, Astambul, Banjar, Kalimantan Selatan.
Itulah kisah Ulama Besar dari Banjar, Syaikh Muhammad Arsyad al-Banjari yang mengabdikan diri untuk menyebarkan agama Islam. ***
Editor : Ditya Arnanta