Sudah sejak Juli, embung Jongke mengering. Tak ada air sama sekali. Petani harus kreatif mendapatkan air untuk mengairi lahan pertanian. Karena jika harus harus menunggu hujan agar debit air pada embung naik jelas tidak mungkin.
Petani Jungke rogoh kocek Rp2,5 juta operasionalkan sumur dalam satu kali musim panen (Foto: iNewskarqnganyar.id/Bramantyo)
Dengan menggunakan sumur bor, petani harus menambah biaya produksinya. Dulunya sebelum ada tekhnologi petani menambah biaya untuk mesin pompa dan sewa selang pompa. Jumlahnya mencapai Rp. 2,5 juta untuk sekali masa panen.
"Untuk sekarang karena tekhnologi sumur bor sudah menggunakan listrik, jadi biaya sekarang untuk biaya token listrik," jelas salah satu petani bernama Pardi Wibowo.
Selama ini sumber air dari embung Jongke berasal dari waduk Delingan dan waduk Lalung. Para petani harus berebut untuk mendapatkannya, karena air sudah dihadang di wilayah atas. Dan embung hanya mengandalkan dari curah hujan.
"Seringkali air tidak sampai ke embung karena sudah di hadang di bagian atas. Jadi hanya mengandalkan curah hujan saja," lanjutnya.
Sebelumnya petani dari tiga desa di Karanganyar menggelar aksi demo. Mereka meminta agar pihak Balai Besar Wilayah Sungai Bengawan Solo (BBWSBS) untuk membuka pintu air Bendungan Delingan.
Kepala Desa Kalijirak Tri Joko Susilo mengatakan mereka tak punya pilihan selain mendatangi pintu waduk delingan. Bukan untuk membuka paksa pintu waduk, namun mereka meminta agar pihak BBWSBS membuka pintu waduk Delingan.
Langka itu terpaksa mereka tempuh. Pasalnya surat yang mereka layangkan pada Bupati Karanganyar Juliyatmono dan Balai Besar Wilayah Sungai Bengawan Solo (BBWSBS) untuk membuka pintu air Bendungan Delingan tidak ada respon. Hingga akhirnya petani mendatangi lokasi Bendungan Delingan.
"Lihat saja kondisi tanaman saat ini, sudah mengering dan tanah sawah sudah dalam kondisi pecah sehingga terancam gagal panen," tandas Tri Joko.***
Editor : Ditya Arnanta