SOLO, iNewskaranganyar.id - Suro atau masyarakat Jawa mengenalnya dengan Malam Satu Suro merupakan malam yang sangat di sakral bagi masyarakat Jawa. Di bulan Suro, tak ada satupun masyarakat Jawa yang menggelar hajatan atau resepsi, seperti pernikahaan.
Konon, dibulan Suro, masyarakat Jawa meyakini bila penguasa Laut Selatan tengah menggelar sebuah pesta selama satu bulan utuh. Sehingga, katannya, bila ada yang berani menggelar resepsi, dianggap menandingi pesta yang tengah digelar penguasa Laut Selatan. Benarkan demikian?.
Selain dilarang menggelar sebuah resepsi pernikahaan, masyarakat Jawa juga meyakini bila malam suro terdapat larangan tidak boleh keluar rumah. Termasuk tidak boleh membangun rumah dan tidak boleh pindah rumah.
Malam Satu Suro memiliki makna sebagai awal tahun dalam penanggalan Jawa dan dianggap sebagai malam yang sarat dengan energi magis dan spiritual oleh masyarakat Jawa. Dipercaya bahwa pada malam ini, pintu-pintu alam gaib terbuka lebar, dan roh-roh nenek moyang turun ke dunia untuk memberikan berkah dan perlindungan.
Bagi masyarakat Jawa yang masih memegang teguh tradisi nenek moyang mereka akan menggelar ritual dengan cara semedi atau menepi di berbagai lokasi seperti gunung dan juga laut saat pergantian tahun hijriah atau biasa disebut Suro.
Seperti diketahui, pergantian Tahun Baru Islam bagi orang jawa dianggap sebagai bulan tirakat. Masyarakat Jawa menyebut 1 Muharam sebagai bulan Suro, yakni bulan pertama dalam penanggalan Jawa.
Penganut aliran kepercayaan Kejawen yang masih banyak dijumpai di pedesaan. Mereka menyambut datangnya tahun baru Jawa dengan tirakatan atau selamatan bubur Sura.
Malam 1 Suro adalah malam tahun baru bagi Kalender Jawa, yang bertepatan dengan 1 Muharram atau tahun baru dalam Kalender Hijriah. Kalender Jawa merupakan hasil perpaduan antara sistem penanggalan Saka dan Hijriah (Islam).
Penetapan 1 Suro terjadi pada abad ke-17, tepatnya pada masa pemerintahan Sultan Agung (1613-1645) dari Kerajaan Mataram Islam. Kalender Jawa diciptakan oleh Sultan Agung pada saat pergantian tahun baru Saka 1555 yang ketika itu bertepatan dengan tahun baru 1 Muharam 1043 Hijriah dan 8 Juli 1633 Masehi.
Sejak saat itu, malam satu Suro diperingati setiap tahun oleh masyarakat Jawa, khususnya bekas wilayah Mataram Islam seperti Jawa Tengah dan Jawa Timur, dengan beragam tradisi. Seperti Keraton Kasunanan Surakarta. Dimana pada malam 1 Suro, Keraton Kasunanan Surakarta mengkirab kerbau pusaka keliling tembok Keraton. Begitu pula Keraton Kasultanan Yogyakarta di malam 1 Suro juga bakal mengkirab benda-benada pusaka peninggalan para leluhur.
Masyarakat berkeyakinan harus terus bersikap eling (ingat) dan waspada. Eling artinya manusia harus tetap ingat siapa dirinya dan dimana kedudukannya sebagai ciptaan Tuhan.
Selama bulan Suro, masyarakat akan melakukan ritual membersihkan benda-benda pusaka peninggalan leluhur seperti keris dan tombak yang dipercaya memiliki kekuatan gaib, serta mengadakan sedekah bumi sebagai salah satu cara mempertahankan kearifan lokal.
Tradisi yang sudah berlangsung sejak jaman kuno ini terus berlanjut hingga saat ini terutama di wilayah dua kerajaan khususnya Surakarta dan Yogjakarta.
Saat itu kerajaan Mataram pada masa pemerintahan Sultan Agung (Mataram Islam) menciptakan kalender sendiri yang merupakan gabungan antara kalender Hindu (Saka) dan Islam (Hijriah).
Bagyo, salah satu abdi dalem Kraton Solo menyatakan dua kerajaan dari dinasti Mataram ini selama bulan Suro masih melakukan tradisi labuhan. Labuhan adalah ritual yang tidak asing di telinga masyarakat Jawa.
"Ritual ini menjadi ritual tahunan di beberapa lokasi yang masih dianggap sakral oleh Kraton Solo dan Kraton Yogjakarta. Ada beberapa gunung yang sering dijadikan lokasi labuhan, yaitu Lawu, juga Merapi," jelas Bagio, beberapa waktu lalu.
Khusus di wilayah Solo, salah satu tujuan lelaku spiritual (tirakat) adalah gunung Lawu yang juga menjadi salah satu tujuan ritual Kraton Solo. Selama ini gunung Lawu dipercaya sebagai pusat kegiatan spiritual di tanah Jawa dan ada hubungan dekat dengan keberadaan Kraton di tanah Jawa.
"Setiap tiap bulan Suro selalu diadakan upacara sesaji di gunung Lawu," lanjutnya.
Selain itu pada malam satu suro ribuan orang berbagai daerah naik ke puncak Gunung Lawu dengan beragam tujuan. Salah satunya sebagai bentuk lelaku. Mereka berkeyakinan, dengan naik ke puncak Pringgodani dan melakukan topo broto (menyepi) di puncak keinginannya bisa terkabul. Ngalap berkah agar terkabul usahanya lancar, naik pangkat dan jika berhasil mereka akan mengadakan selamatan.
"Masih banyak lokasi di gunung Lawu yang masih di sakralkan seperti lereng sebelah utara, yang dipercaya sebagai pusat atau istana makhluk halus," pungkasnya. ***
Editor : Ditya Arnanta