BANDUNG, iNewskaranganyar.id - Konon ada mitos larangan orang Jawa menikah dengan orang sunda. Katannya, bila calon mempelai dari orang Jawa adalah laki-laki dan perempuannya dari Sunda, maka laki-laki dari Jawa itu akan takluk. Dengan kata lain, laki-laki dari Jawa akan bisa diatur oleh perempuan yang berasal dari Sunda.
Begitu pula sebaliknya, bila perempuan dari Jawa dan laki-lakinya dari Sunda, maka perempuan itu akan takluk dengan laki-laki yang berasal dari Sunda. Bahkan, dalam hal pengaturan keuangan itupun akan dikendalikan seluruhnya oleh orang Sunda.
Akibatnya, pernikahan keduannya dipastikan tidak akan langgeng. Entah benar atau tidak kondisi itu tak lepas dari sejarah perang bubat antara Kerajaan Majapahit dari tanah Jawa dan Kerajaan Padjadjaran dari tanah Sunda.
Dilansir dari berbagai sumber, konflik dalam rumah tangga antara Sunda dan Jawa itu merupakan sisa permusuhan antar kedua suku ini. Sehingga munculah mitos jodoh antara orang Jawa dan Sunda.
Hal ini bermula dari Dyah Pitaloka yang merupakan putri Kerajaan Sunda, dia di jodohkan dengan Hayam Wuruk yang berhasrat untuk menjadikannya sebagai permaisuri. Tradisi menyebutkan Dyah Pitaloka sebagai gadis yang memiliki kecantikan luar biasa.
Hayam Wuruk, raja Majapahit, mungkin dengan didasari alasan politik, ingin menjadikan putri Citra Rashmi (Pitaloka) sebagai istrinya. Dia adalah anak perempuan dari Prabu Maharaja Lingga Buana dari Kerajaan Sunda.
Patih Madhu, pun makcomblang dari Majapahit, datang ke kerajaan Sunda untuk menjodohkan dan melamar tuan putri Sunda dalam suatu pernikahan kerajaan.
Perjodohan ini pun menjadi peluang untuk mengikat persekutuan dengan kerajaan Majapahit yang besar dan jaya, raja Sunda dengan suka cita memberikan restunya dan ikut pergi mengantarkan putrinya ke Majapahit untuk menikah dengan Hayam Wuruk.
Mereka menantikan jemputan dari pihak Majapahit serta upacara kerajaan yang pantas layaknya pernikahan agung kerajaan. Akan tetapi Gajah Mada, Mahapatih Majapahit, malah memandang ini sebagai kesempatan untuk menaklukan Sunda di bawah kemaharajaan Majapahit.
Dia pun bersikeras bahwa Sang Putri tidak akan diangkat menjadi Ratu Majapahit, tetapi hanya menjadi Selir yang dipersembahkan untuk Raja Majapahit, sebagai tanda takluk Kerajaan Sunda di bawah kekuasaan Majapahit. Raja Sunda amat murka dan merasa dipermalukan oleh tuntutan Gajah Mada ini.
Tradisi dan kisah-kisah lokal menyebutkan bahwa dalam kesedihan dan hati yang remuk redam, Sang Putri melakukan bunuh diri untuk membela kehormatan dan harga diri negaranya. Menurut tradisi, kematian Dyah Pitaloka diratapi oleh Hayam Wuruk serta segenap rakyat Kerajaan Sunda yang kehilangan sebagian besar keluarga kerajaannya.
Oleh masyarakat Sunda kematian Sang Putri dan Raja Sunda dihormati dan dipandang sebagai suatu keberanian dan tindakan mulia untuk membela kehormatan bangsa dan negaranya.***
Editor : Ditya Arnanta