KARANGANYAR, iNewskaranganyar.id - Candi Sukuh salah satu peninggalan sejarah masa lampau bangsa Indonesia. Candi Sukuh berlokasi di lereng kaki Gunung Lawu atau 20 kilometer dari pusat Kota Karanganyar. Sedangkan dari Kota Solo sejauh 36 kilometer.
Candi Sukuh, berada di ketinggian 1.186 meter. Sehingga hawa sejuk akan didapat saat mengunjungi candi ini. Candi ini masuk kedalam wilayah Desa Berjo, Kecamatan Ngargoyoso, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. Dan masuk kedalam komplek candi umat Hindu.
Tak ada yang tahu persis kapan Candi Sukuh ini dibangun. Namun, candi yang disebut-sebut usiannya jauh lebih tua dibandingkan milik suku Maya ini pertama kali ditemukan oleh seorang peneliti asal Belanda bernama Johnson pada tahun 1815.
Seperti dikutip dari lama Kementerian Pariwisata, saat itu Johnson tengah melakukan penelitian untuk mengumpulkan data-data guna menulis buku the History Of Java yang dilakukan oleh Thomas Stamford Raffles.
Setelah masa pemerintahan Britania Raya berlalu, Van Der vlies yang merupakan arkeolog Belanda melakukan penelitian pemugaran pertama yang dimulai pada tahun 1928. Fakta tersebut menunjukkan bahwa Candi Sukuh telah ada sejak lama dan sampai kini masih terawat.
Batu Kulit
Arkeolog dari Universitas Gadjah Mada (UGM) yang juga menjadi salah satu anggota tim peneliti Niken Wirasanti sempat menemukan sesuatu yang sangat unik di Candi Sukuh.
Salah satu diantaranya menemukan setelah batu candi dan atap dari candi induk yang berada di tengah lokasi di buka ternyata di dalamnya terdapat lagi batu lapisan candi.
Kisah di Balik Misteri Asal Muasal Berdirinya Candi Sukuh di Lereng Gunung Lawu (Foto: iNewskaranganyar.id/Bramantyo)
Niken menyebutkan selain ada lapisan batu lain di dalam candi utama juga ditemukan empat artefak batu yang berbentuk segitiga yang tertimbun di bawah tangga.
"Ada dugaan temuan artefak tersebut adalah hiasan candi yang dibangun tahap pertama sebelum ditemukan seperti saat ini. Selain itu juga diperoleh kotak batu atau pripih terbuat dari kristal," jelasnya Niken saat pemugaran Candi Sukuh belum lama ini.
Niken juga menyebutkan bahwa struktur batu kulit diduga adalah bengunan pertama sebelum akhirnya dilapisi batu berukuran lebih besar lagi di luarnya. Keunikan lainnya adalah batu kulit yang menyusun Candi Sukuh jumlahnya mencapai 24 lapisan batu.
"Saat tim membongkar lapisan hingga batu ke empat, ternyata masih ada lagi susunan batu hingga jumlahya ada 24 lapisan," papar Niken lebih detail lagi.
Menurut predikasi ada dugaan bentuk candi saat pertama kali di bangun kondisinya tidak begitu kuat, hingga perlu waktu untuk menambah lapisan batu lagi. Dan hasilnya detailnya cukup rumit juga..
Arah Kiblat
Salah satu situs candi peninggalan jaman purbakala yang terletak di kaki lereng gunung Lawu ini memiliki cerita yang unik dan juga misterius. Selain karena bentuknya yang berbeda dari candi yang ada di Indonesia, Candi sukuh juga memiliki relief atau pahatan yang jauh dari kesan tradisi budaya lokal nusantara.
Candi peninggalan jaman megalithikum ini juga merupakan satu-satunya candi di Indonesia yang menghadap ke barat atau ke arah kiblat.
Menurut seorang pemerhati gunung Lawu yang sangat mengerti tentang seluk beluk gunung Lawu, Polet menyebutkan, menurut pakem tradisi candi agama Hindu lainnya yang digunakan sebagai tempat persembahyangan, seharusnya Candi Sukuh menghadap ke arah timur, yakni arah terbitnya matahari. Nyatanya justru candi ini menghadap ke arah arah barat.
Polet menerangkan, sudah menjadi tradisi jawa kuno di waktu jaman prasejarah jika matahari menjadi merupakan sumber urip (sumber kehidupan)
"Candi sukuh ini berbeda dengan candi kebanyakan yang menghadap ke timur. Justru candi ini menghadap Barat. Jadi untuk memasuki candi Sukuh, orang menuju ke arah Timur, tempat matahari terbit,"terangnya saat ditemui di kediamannya di Ngargoyoso Karanganyar, Rabu (4/10/2023).
Menurut pria berambut panjang yang akrab di panggil Pak Po ini menerangkan, sudah menjadi tradisi jawa kuno di waktu jaman prasejarah yang beranggapan jika matahari merupakan sumber urip (sumber kehidupan).
Candi Sukuh yang terletak di Dukuh Berjo, Desa Sukuh Kecamatan Ngargoyoso Kabupaten Karanganyar dikenal banyak orang sebagai dengan sebutan candi porno, karena banyak terdapat relief yang menampilkan gambaran orang tanpa busana.
Menurut Pak Po sebenarnya salah jika menyebut candi Sukuh sebagai candi porno hanya karena banyaknya relief yang menggambarkan sesuatu yang pribadi seperti bentuk lingga yoni yang menggambarkan kelamin lelaki dan perempuan.
"Sebenarnya candi Sukuh bukan candi porno, tapi itu satu pembelajaran. Purwa madya wusana yakni asal muasal kita ada. Jika di India punya kamasutra, kalau di Jawa khan punya centhini," ungkapnya.
Jadi candi sukuh adalah candi yang menonjolkan lingga dan yoni yakni penggambaran laki dan perempuan. Jadi asal muasal manusia ada khan dari gambaran relief yang ada di Candi Sukuh.
"Jadi itu bukan candi tentang seni bercinta tapi penggambaran bahwa kita itu ada di alam kandungan, di alam dunia dan alam kubur.
Pak Po juga menyebutkan jika orang-orang jawa itu meyakini bahwa manusia Jawa pertama itu berasal atau datangnya dari Lawu. Karena kaki Lawu itu sampai daerah Sangiran Sragen Jawa Tengah. Sebab itulah di Sangiran banyak di temukan situs-situs, mulai dari fosil yang ditemukan, peninggalan yang ditemukan.
"Dari mulai adanya tanah Jawa, wong kapisan itu njedule di gunung Lawu. Makanya itu di sana juga ada candi yang menggambarkan bahwa kita itu ada, antara laki dan perempuan ketemu, di gambarkan oleh lingga dan yoni (bentuk alat kelamin pria dan wanita), terangnya.
Dan itu di gambarkan dengan jelas melalui tiga teras atau tiga trap bagian candi. Yang tergabung dalam purwa madya wasana yang berarti asal muasal kita ada. Bagian candi pada teras pertama adalah purwa yang berarti kawitan, pertama atau asal muasal dimana laki perempuan ketemu.
Teras kedua adalah madya yang menggambarkan alam dunia. Di situ banyak sekali terdapat relief yang menggambarkan kehidupan manusia seperti petani, pejabat, punggawa raja, pande besi. Toh akhirnya nanti wusananya teras paling atas atau candi paling atas akhirnya kita
kembali ke sana lagi. Kepada yang membikin hidup. ***
Editor : Ditya Arnanta