SOLO, iNewskaranganyar.id - Penyelenggaraan proses Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 mendapati sorotan dari Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) Jawa Tengah (Jateng).
OMS Jateng menilai, insiden meninggalnya beberapa petugas penyelenggara pemilu yang kolaps hingga meninggal saat menjalankan tugas pada Pemilu 2019 lalu menjadi acuan untuk Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) melakukan antisipasi agar insiden masa lalu tidak terulang lagi.
Menurut OMS Jateng, waktu penyelenggaraan Pemilu dan Pilkada 2024 kali ini dilakukan serentak. Untuk itu, OMS Jateng menilai butuh penyelenggara Pemilu dan Pilkada yang berpengalaman, berintegritas dan profesional, Minggu 6 Agustus 2023.
Apalagi, menurut OMS Jateng, pada Pemilu tahun 2019 lalu, banyak petugas penyelenggara pemilu yang kolaps hingga meninggal saat menjalankan tugas. Kondisi ini terjadi karena beban pekerjaan selama puncak pelaksanaan Pemilu yang luar biasa tinggi.
Juru bicara OMS Jateng, Ronny Maryanto menjelaskan, insiden tersebut sudah seharusnya diantisipasi sejak dini oleh KPU maupun Bawaslu dan berbagai pihak.
"Yakni dengan menyiapkan petugas pelaksana Pemilu dan Pilkada yang lebih akuntabel, partisipatoris, berintegritas, transparan, professional, sehat, sigap, netral dan berpengalaman," terang Ronny Maryanto kepada inewskaranganyar.
"Namun berdasarkan hasil pantauan OMS Jawa Tengah, perkembangan tahapan Pemilu dan Pilkada serentak ini tak semuanya berjalan sesuai dengan nilai-nilai reformasi dan prinsip-prinsip demokratisasi. Padahal, hasil Pemilu dan Pilkada serentak ini akan menentukan nasib bangsa Indonesia lima tahun ke depan," tambahnya.
Kendati demikian, Ronny menegaskan, dengan kondisi tersebut, hal ini memantik keprihatinan seluruh anggota OMS Jawa Tengah untuk melihat dan menilai proses rekrutmen penyelenggara Pemilu di Jawa Tengah.
Berdasarkan pemantauannya, OMS Jawa Tengah menemukan beberapa hal diantaranya Undang-Undang (UU) nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) dan UU 10 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD, bahwa rekrutmen penyelenggara Pemilu dilakukan berdasarkan akhir masa jabatan.
Namun, kata Ronny, rekrutmen semua penyelenggara Pemilu di seluruh Indonesia justru dilakukan di tahun 2023 ini. Tahun krusial bagi petugas untuk menyiapkan tahapan pelaksanaan Pemilu dan Pilkada.
"Ironisnya, sebagian besar petugas yang dipilih justru tidak memiliki kapasitas, kapabilitas, dan pengalaman yang memadai. Bahkan terkesan asal comot petugas baru yang memiliki afiliasi politis terhadap kelompok dan golongan tertentu," ujarnya.
Meski begitu, dengan adanya itu pun membuat pengamat hukum dari Universitas Sebelas Maret (UNS) angkat bicara. Dosen Fakultas Hukum UNS, Sunny Ummul Firdaus menilai, sistem rekrutmen petugas KPU maupun Bawaslu diminta untuk transparan.
Pasalnya, Sunny berpendapat, transparan itu dilakukan agar peserta mengetahui kapasitasnya untuk mendapatkan posisi dalam bidang sesuai yang diharapkan.
"Apakah tes tertulis presentasi nilainya 50 %, kesehatan itu juga termasuk tinggi 40%. Katakanlah kemudian wawancara cuma 10%, kemudian itu dikalkulasi menjadi dirata-rata. Nah ketentuan-ketentuan ini maksudnya harus transparan disampaikan kepada peserta, sehingga peserta sendiri sudah bisa menghitung kira-kira saya masuk pada level yang mana, baru terakhir pada saat wawancara," jelas Sunny Ummul Firdaus.
"Nah ini menurut saya seperti itu sistem supaya konsep kelelahan itu tidak terjadi lagi dan juga harus dirubah," terangnya.
Meski begitu, Sunny berharap ada perubahan dalam penyelenggaraan Pemilu 2024 mendatang. Kendati, sistem rekrutmen harus diperketat.
"Kemudian penyelenggara Pemilu, selain dia mempunyai kapasitas kemampuan dalam bidang pengalaman, bidang pengetahuan tentang pemilu maupun kesehatan menjadi skala prioritas angka. Mungkin angka perbandingan penilaiannya juga dikategorikan yang tinggi," bebernya. ***
Editor : Ditya Arnanta