JAKARTA, iNewskaranganyar.id - Muhammadiyah secara resmi telah menetapkan 1 Syawal 1444 Hijiriah jatuh pada Jumat 21 April 2023. Bahkan Ormas Keagamaan besar ini sudah jauh0jauh telah menentukan Hari Raya Idul Fitri 1444 Hijiriah. Lantas, kapan 1 Syawal versi Nahdlatul Ulama dan Pemerintah?
Berdasarkan hasil hisab hakiki wujudul hilal yang dipedomani oleh Majelis Tarjih dan Tarjdid, Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah menetapkan 1 Syawal 1444H.
Muhammadiyah telah mengumumkan tentang penetapan hasil hisab ramadan, Syawal dan Dzulhijjah 1444H. Sekretaris PP Muhammadiyah, Muhammad Sayuti membacakan Maklumat PP Muhammadiyah yang menetapkan awal 1 Ramadhan 1444H jatuh pada hari Kamis, 23 Maret 2023.
"Umur bulan Syakban 1444 H adalah 30 hari dan tanggal 1 Ramadan 1444 H jatuh pada hari Kamis Pon 23 Maret 2023 M. Jadi mulai tarawih, Rabu malam," ungkap Sayuti dalam konferensi pers yang disiarkan secara daring, Senin 6 Februari 2023.
Terkait Syawal 1444H yang merupakan Idul Fitri, dia menyampaikan pada hari Kamis Legi, 29 Ramadan 1444 H bertepatan dengan 20 April 2023 M, ijtimak jelang Syawal 1444 H terjadi pada pukul 11:15:06 WIB.
Dia menjelaskan, tinggi Bulan pada saat Matahari terbenam di Yogyakarta +01° 47 58" dengan demokrasi hilal sudah wujud). DI seluruh wilayah Indonesia pada saat Matahari terbenam itu Bulan sudah berada di atas ufuk.
"Tanggal 1 Syawal 1444 H jatuh pada hari Jumat Pahing, 21 April 2023 M,"kata dia.
Pemerintah
Pemerintah sendiri melalui Kementerian Agama (Kemenag) akan menggelar sidang isbat pada Kamis 20 April 2023. Sidang ini menjadi acuan pemerintah untuk menetapkan 1 Syawal, yakni hari di mana Idul Fitri dirayakan.
Pemerintah memprediksi penetapan 1 Syawal 1444 H pada Sabtu, 22 April 2023. Wakil Menteri Agama (Wamenag), Zainut Tauhid Sa'adi menyatakan, hal ini karena pada 21 April 2023 posisi hilal masih di bawah ufuk.
Maka Pemerintah baru akan melakukan sidang isbat pada 20 April 2023 mendatang.
"Kemenag Insya Allah akan melaksanakan sidang isbat pada 20 April 2023. Di mana dalam perhitungannya, hilal memang masih di bawah ufuk dan memang sangat mungkin ada perbedaan," terangnya.
Dia mengatakan, bahwa Idul Fitri di tahun 2023 ini diperkirakan akan ada perbedaan antara pemerintah dan Muhammadiyah.
Meskipun ada perbedaan, Wamenag mengimbau agar masyarakat khsususnya umat Islam agar saling menghargai satu sama lainnya. Dan tetap menjalin silaturahmi, walau merayakan lebaran di waktu berbeda.
"Kami imbau kepada masyarakat menjaga kerukunan persaudaraan, saling menghormati, saling memuliakan, perbedaan. Dan bukan sebagai faktor yang memecah belah persaudaraan sesama umat Islam dan sesama anak bangsa," katanya dalam keterangan resminya.
NU
Data bulan tanggal 29 Ramadhan 1444 H atau 20 April 2023 berdasarkan markaz Jakarta menunjukkan ketinggian hilal berada pada 1 derajat 55 menit 43 detik dan elongasi 3 derajat 18 menit 23 detik.
Adapun waktu hilal di atas ufuk berlangsung selama 9 menit 29 detik. Sementara ijtimak terjadi pada Kamis Legi, 20 April 2023 pada pukul 11.16.38 WIB.
Sementara itu, letak matahari terbenam pada 11 derajat 30 menit 16 detik utara titik barat, sedangkan letak hilal pada 13 derajat 02 menit 49 detik utara titik barat. Kedudukan hilal sendiri berada pada 1 derajat 32 menit 32 detik utara matahari dalam keadaan miring ke utara.
Data di atas menunjukkan bahwa hilal sudah berada di atas ufuk, tetapi ketinggian hilal masih berada di bawah standar minimal imkan rukyah (visibilitas) atau kemungkinan hilal dapat terlihat, yaitu 3 derajat dan elongasi 6,4 derajat.
Hal itu berarti bahwa kemungkinan hilal dapat dirukyat sangatlah kecil. Jika hilal tidak dapat terlihat atau teramati oleh para perukyat, tentu bulan Ramadhan 1444 H harus digenapkan menjadi 30 hari.
Ketentuan itu disebut istikmal atau ikmal, yaitu jumlah hari dalam satu bulan disempurnakan menjadi 30 hari. Dengan begitu, kemungkinan terbesar hari raya Idul Fitri, 1 Syawal 1444 H akan jatuh bertepatan dengan hari Sabtu Pon, 22 April 2023.
Ketua Lembaga Falakiyyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Sirril Wafa menambahkan, Ia tidak mau perbedaan tersebut seakan-akan menjadi identitas yang justru malah diperdebatkan.
“Jangan sampai perbedaan ini mengkristal menjadi identitas permanen,” tuturnya.***
Editor : Ditya Arnanta