Melongok Makam Singomodo Sragen Selalu Ramai Jelang Pilkada, Termasuk Calon Pejabat Publik

Herry Honggo
Tampak para peziarah melangkah menuju Makam Syeh Muhammad Nasher yang berada dipuncak bukit

SRAGEN, iNews.id - Meski waktu Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah) serentak masih akan berlangsung sekitar 2 tahun mendatang, namun Makam Singomodo yang berada di Dukuh Singomodo, Desa Kandangsapi, Kecamaan Jenar, Sragen kini sudah mulai ramai dikunjungi peziarah.

Utamanya peziarah yang berniat mencalonka sebagai pejabat publik, seperti Caleg (calon legislatif), lurah, bupati, walikota, gubernur sampai calon presiden.

Para peziarah ini datang ke-makam Singomodo, semata-mata untuk melakukan olah ritual ngalab berkah. 

“Belakangan ini sudah banyak para calon pemimpin rakyat yang berkunjung kesini, untuk melakukan ritual khusus agar keinginannya itu tercapai” ujar Slamet Reksodipuro, juru kunci makam Singomodo kepada wartawan sambil menambahkan, meski ada sebagian orang yang merahasiakan dan malu-malu berterus terang.

Meski begitu, Slamet sebagai juru kunci yang berpengalaman, tentu bisa menebak gelagat peziarah tersebut. Padahal, peziarah yang enggan berterus terang ini hanya ingin menghidari syarat yang sudah ditentukan di makam ini, yakni bila terkabul harapannya, peziarah sarankan menjalankan syukuran dengan menyembelih kambing. 

“Hal ini disyaratkan, agar nanti kalau menjadi pejabat bisa selamat sampai akhir jabatannya” tambahnya.

Diketahui, makam Singomodo ini sudah lama dikenal sebagai tempat pezirahan khusus calon pejabat publik yang merupakan sarana terkabulnya jabatan yang diinginkan, termasuk para calon kepala dinas, direktur, komisaris dan sebagainya yang intinya calon pimpinan dilahan strategis atau basah. 

“Bahkan para pemuda lulusan SLTA (sekolah lanjutan tingkat atas) yang bercita-cita menjadi tentara, polisi, pramugari juga ada yang berziarah disini” katanya.

Lalu, siapa yang dimakamkan disana, sehingga sangat dikenal bagi spiritualis dan masyarakat peziarah sebagai tempat ngalab berkah calon pempinan publik itu ? dikisahkan, pada zaman keemasan Kerajaan Mataram, pada abad 17, terjadi geger pecinan.

Sehingga Amangkurat I beserta prajurit, sentana dan abdidalem-nya kocar-kacir dan lari tunggang langgang untuk mencari keselamatan diri masing-masing. Dalam situasi itu, abdidalem ulama keratonyang bernama Syeh Muhammad Nasher beserta 5 santrinya juga oncat (meninggalkan) dari keraton, namun menggunakan gethek (perahu kecil yang terbuat dari potongan bambu) untuk menyusuri Bengawan Solo.

Ketika gethek tersebut melewati hutan yang masih perawan dan masih banyak dihuni binatang buas, justru Syeh Nasher memerintahkan agar gethek yang mereka tumpangi dihentikan dan menepi, serta mengajak lima santrinya, Raden Mustofa, Raden Risail, Raden Sholahuddin, Raden Sholeh lan Raden Munir masuk hutan.

Anehnya, begitu rombongan ini masuk hutan, disambut seekor Singa yang bertubuh besar, tentu saja membuat para santri ini ketakuatan. Namun melalui kesucian hati dan jiwa, serta kekuatan olah batin Syeh Nasher, yang mampu berdialoq secara gaid dengan roh Sang Raja Rimba itu, akhirnya Singa yang semula berwajah garang dan menakutkan itu, justru nampak jinak.

Bahkan selalu mengikuti kemanapun rombongan alim ulama tersebut melangkah, seolah memberikan perlindungan, bila suatu ketika ada bahaya yang mengancam mereka. 

“Hal ini tentu membuat lima santri itu heran. sehingga peristiwa inilah, muncul nama perdukuhan  Singomodo” tambahnya.

Langkah para alim ulama itu dilanjutkan memasuki hutan di lereng Gunung Lawu yang dikenal wingit dan angker tersebut, hingga sampai di puncak bukit baru berhenti. Syeh Nasher mengajak berhenti 5 santrinya.

“Setelah berhenti dan istirahat  sejenak, lantas mereka memulai membangun padepokkan” katanya.

Dalam perkembangannya, mereka melakukan syiar agama Islam bagi penghuni disekitarnya. Bahkan pada hari tertentu, yakni Kamis Pon, pada tengah malam Syeh Nasher melakukan olah spiritual dengan cara meditasi dan melakukan dzikir dengan cara kungkum di aliran Bengawan Solo.

Sementara 5 santrinya, juga melakukan hal yang sama, secara berpencar, namun disemak-semak atau gundukkan tanah disekitar bangunan padepokan.

“Kejadian aneh kembali terjadi, karena lokasi masing-masing santri itu semedi dan berdikir,selanjutnya muncul mata air dan akhirnya menjadi sendang” terangnya.

Dari aliran mata air itu membentuk 7 sendang, masing-masing bernama sendhang Pucangan, Ngala, Permata, Keputren, Ngare lan Panguripan. Kembali, pada muasal nama perdukuhan Singomodo, yakni  Singa (singo-jawa) dan Modo (membantah) dari kata maido (bahasa jawa), maka perdukuhan yang dulunya sebagai tempat singgah dan padepokkan para alim ulama itu dinamakan Dukuh Singomodo.

“Syeh Nasher dan lima santrinya dalam perkembangannya melakukan syiar Agama Islam dengan jumlah 90 santri hingga meninggal dunia dan dimakamkan di puncak bukit itu juga,"jelasnya.

Editor : Ditya Arnanta

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network