KARANGANYAR, iNews.id - Mojoroto salah satu desa di Kabupaten Karanganyar ini salah satu desa yang menjadi saksi sejarah kerajaan besar di tanah Mataram.
Dahulunya, Desa Mojoroto bisa dikatakan merupakan pangkalan militer Pangeran Mangkubumi kala berusaha memburu dan menumpas pemberontakan Tumenggung Martopuro dan Pangeran Sambernyawa di Sukowati.
Tak hanya menjadi pangkalan militer bagi pasukan Mangkubumi, Desa Mojoroto ini pun menjadi tempat tujuan utama Pangeran Mangkubumi ketika keluar dari Keraton Kartasura menuju ke Sukowati.
Di desa Mojoroto inilah tempat tujuan bagi Pangeran Mangkubumi untuk melaksanakan misi perjuangannya.
Dan di desa ini juga terjadi peristiwa ketika pecah kongsi antara Pangeran Mangkubumi dan Pangeran Sambernyawa.
Penelusuran sejarah oleh Solo Societeit juga mendapatkan bahwa Mojoroto adalah berbeda dengan desa lainnya.
Mojoroto disebut sebagai jalur komunikasi yang ideal pada masa itu karena menjadi wilayah penghubung antara sisi barat dengan sisi selatan Gunung Lawu, dimana laskar Pangeran Sambernyawa dan Pangeran Mangkubumi sering mengadakan mobilisasi dalam melakukan pergerakan.
Disebutkan pula dalam Babad Giyanti, bahwa cakupan luas wilayah tanah Sukowati masa lalu, tak hanya sebatas luas Kabupaten Sragen sekarang.
Cakupan luas wilayah Sukowati ke daerah bagian selatan adalah sampai ke Desa Palur. Bahkan, Kabupaten Karanganyar dahulunya pun merupakan wilayah Sukowati.
Dijelaskannya, Pangeran Mangkubumi menuju Mojoroto dan mendirikan pesanggrahan.
Kesimpulan penelusuran jejak kesejarahan yang ia dapatkan bahwa sebelum era Pangeran Sambernyawa, Pangeran Mangkubumi terlebih dahulu mendirikan basis militer di Mojoroto untuk memburu Tumenggung Martopuro dan Pangeran Sambernyawa yang kala itu lebih awal melakukan pemberontakan sebelum Pangeran Mangkubumi.
"Ada satu catatan penting dalam konteks bahwa Mojoroto adalah desa wisata berbasis religi dan sejarah memang sangat tepat. Karena di Mojoroto dua tokoh superior Tanah Jawa, yaitu Pangeran Sambernyawa dan Pangeran Mangkubumi sama - sama mengalami pengalaman spiritual yang sangat hebat. Pangeran Mangkubumi membuat pesanggrahan dan berdiam di sini, kemudian merasakan sebuah ketenangan. Begitu juga dengan Pangeran Sambernyawa," terang Dani.
Catatan penting lainnya ditemukan dalam Babad Panambangan yang juga menyinggung mengenai jejak perjuangan Pangeran Sambernyawa di Mojoroto sebelum mendirikan Praja Mangkunegaran.
Dalam manuskrip kuno tersebut, juga termaktub bahwa Pangeran Sambernyawa melakukan meditasi dan laku prihatin di Sendang Bejen bahkan membangun sebuah pesanggrahan hingga mengolah kemampuan para prajuritnya dengan berlatih jemparingan atau memanah.
"Maka, bukan tidak mungkin apabila jemparingan bisa dihadirkan kembali dan menjadi aset bagi Desa Mojoroto kelak. Karena secara kesejarahan ada fakta bahwa dulu tempat ini juga dipakai untuk latihan memanah oleh para laskar Pangeran Sambernyawa pada masanya," kata Dani.
Dijelaskan lebih lanjut, termuat dalam catatan arsip Belanda, ditemukan juga sebuah keunikan bahwa untuk mengobarkan semangat tempur para prajuritnya, Pangeran Sambernyawa selalu membawa dan menabuh gamelan carabalen setiap kali mennyambut musuh di medan perang.
"Ketika dalam suasana damai, Pangeran Sambernyawa adalah seorang yang mahir dalam bahasa Arab. Bahkan pada masa itu, beliau juga mampu menyalin dan menerjemahkan Al Quran,"terangnya.
"Maka, ketika kita bicara tentang konteks Pangeran Sambernyawa, jangan hanya berpikir bahwa beliau adalah hanya seorang ahli perang, tetapi beliau juga seorang sosok Muslim yang sangat taat. Inilah satu sisi religius dari Pangeran Sambernyawa yang sering terlupakan," imbuhnya.
Temuan penting lainnya terkait Mojoroto adalah mengenai konteks penetapan jumlah anggota pasukan inti atau pasukan khusus Pangeran Sambernyawa semasa awal perjuangannya.
"Sampai sekarang, di Puro Mangkunegaran angka 40 menjadi angka yang sakral. Bukan berarti klenik, melainkan ini adalah suatu strategi, dimana anggota resimen atau pasukan khusus Pangeran Sambernyawa adalah selalu tak kurang dari 40 orang. Penetapan jumlah pasukan ni diadopsi secara filisofis dari Macapat. Ini yang kemudian diaplikasikan oleh Pangeran Sambernyawa ke dalam dunia militer dan terbukti tangguh," jelasnya.
Salah satu aspek nilai lebih lagi dari pasukan terlatih Pangeran Sambernyawa, adalah kekuatan barisan prajurit wanita (prajurit estri) yang jumlahnya juga tidak lebih dari 40 orang.
Pasukan ini layaknya pasukan khusus yang juga mampu melakukan berbagai tugas-tugas rahasia. Konteks penetapan jumlah prajurit ini, ungkap Dani, ditemukan pula di Mojoroto.
"Dari penelusuran sejarah yang kami lakukan, penetapan jumlah anggota pasukan khusus dari Pangeran Sambernyawa yaitu sebanyak 40 orang, ternyata justru ada di Mojoroto. Saya berpikir, bahwa kemungkinan setelah Pangeran Sambernyawa melakukan gerilya ke Nglaroh, Wonogiri barulah beliau menetapkan penyebutan nama - nama dari 40 orang pasukan khusus tersebut, yang semua diawali dengan nama gelar Joyo, seperti Joyo Liyangan, Joyo Wilatan dan banyak lagi," paparnya.
Ciri khusus petilasan Pangeran Sambernyawa kebanyakan memang tak selalu jauh dari keberadaan mata air dan sendang. Seperti halnya Sendang Bejen di Kabupaten Karanganyar.
Pun demikian dengan petilasan Pangeran Sambernyawa yang ditemukan di beberapa tempat di Kabupaten Wonogiri seperti Sendang Siwani, Sendang Lanang, Umbul Naga dan Sendang Sigedang.
Menurut Dani, di samping aspek kepercayaan orang Jawa terhadap sarana kekuatan spiritual adi kodrati, keberadaan sumber air yang mencukupi adalah menjadi penting, dimana kebutuhan untuk minum dan sebagainya dapat terjamin dengan keberadaan mata air dan sendang.
"Keberadaan Sendang Bejen ini adalah bukti nyata sejarah secara fisik untuk anak cucu. Karenanya kesadaran untuk merawat keberadaan situs perlu dijaga dan dilestarikan bersama untuk menguak sejarah,"jelasnya (Selesai)
Editor : Ditya Arnanta
Artikel Terkait