Kisah Syekh Abdul Manaf dan Misteri Kampung Mahmud Serta Larangan Menggali Sumur

SM Said/Net Karanganyar
Karomah Syekh Abdul Manaf dan Misteri Kampung Mahmud (Foto: Sindonews)

BANDUNG, iNewskaranganyar.id - Kampung Adat Mahmud yang berada di RW 04 Desa Mekarrahayu, Kecamatan Marga Asih, Kabupaten Bandung tak bisa dipisahkan dari nama ulama besar saat itu Syekh Abdul Manaf.

Dikisahkan, Syekh Abdul Manaf inilah yang mendirikan kampung yang tepat berada di tengah lingkaran Sungai Citarum tersebut hingga bisa lestari hingga saat ini.

Diketahui, Syekh Abdul Manaf merupakan cucu dari bupati Dalem Dipati Agung Suriadinata. Dia mempunyai putra bernama Dalem Natapradja.

Kemudian Natapraja ini memiliki putera Abdul Manaf atau yang dikenal dengan sebutan Dalem Mahmud. Sang ulama ini diperkirakan hidup antara tahun 1650–1725.

Uniknya dari dulu hingga kini hanya 300 kepala keluarga, atau sekitar seribu jiwa penghuni Kampung Mahmud.

Dimana masyarakatnya masih kuat memegang tradisi adat turun temurun. Aturan adat yang masih ditaati di Kampung Mahmud antara lain dilarang membangun gedong (rumah dari tembok), apalagi memakai kaca.

Dilarang menggali sumur. Dilarang menabuh bedug, memelihara angsa, serta dilarang menyelenggarakan pertunjukan yang didalamnya ada perangkat gamelan berupa gong.

Cerita mengenai Kampung Mahmud dimulai saat, Abdul Manaf pergi menunaikan ibadah haji ke Mekkah. Ketika dia berada di depan Kakbah konon mendapat ilham (wangsit) untuk mengambil segenggam tanah dari pelataran Kakbah untuk dibawa pulang ke tanah air.

Setibanya di kampung halamannya, tanah itu harus ditebarkan di sekitar rumah dan ditandai dengan batu atau tugu setinggi kira-kira ½ meter berbentuk kuncup dan daerah tersebut dinamai Kampung Mahmud. Kemudian Kampung Mahmud itu harus dijadikan kawasan “haram” (tanah suci) yang tidak boleh dikunjungi dan diinjak oleh seseorang yang tidak beragama Islam.

Tugu tersebut kini dilestarikan dengan dibangunnya sebuah bangunan yang tertutup dan terkunci, dikelilingi dengan pagar besi yang cukup tinggi dan beratap.

Ini dimaksudkan untuk menjaga dari mereka yang berniat jahil, karena sering ada yang mencoba memindahkan tugu tersebut. Ini sering terjadi sebelum dibangun bangunan pelindung tersebut.

Pada suatu ketika ada orang-orang yang iseng memindahkan atau mencabut tugu itu dan dilemparkan jauh-jauh dari tempat asalnya. Tapi dengan izin Allah, tugu itu kembali ke tempat asalnya sebelum orang jahil tersebut sampai di tempat tugu tadi.

Setelah kampung itu diberi nama Mahmud, tempat ini berkembang menjadi salah satu pusat pelajaran spritual Islam terkenal di Tatar Sunda dan sekaligus menjadi sebuah tempat perlindungan (persembunyian) dan pengayoman bagi mereka dengan alasan apapun mencari suatu perlindungan.

Konon pada suatu ketika Eyang Dalem Mahmud kedatangan seorang pria setengah baya yang mengaku berasal dari kawasan Priangan Timur dan bernama Zainal Arief.

Dia memaparkan bahwa sebenarnya sedang melarikan diri dari daerah asalnya karena dituduh membahayakan keamanan negara oleh penjajah Kolonial Belanda.

Setelah menjelaskan keadaan dirinya kemudian dia meminta perlindungan kepada Syekh Abdul Manaf sehingga diterima menjadi murid dan pengikutnya.

Zainal Arif sebenarnya adalah putra dari Eyang Asmadin, dan keturunan keempat Syeikh Abdul Muhyi dari Pamijahan, Karang Nunggal, Tasikmalaya. Dalam menjalankan tugasnya, beliau diberi perintah oleh Eyang Dalem Abdul Manaf untuk bertapa di 33 gunung di sekitar Kampung Mahmud selama 33 tahun, dan selanjutnya bersama-sama menyebarkan agama Islam di Jawa Barat.

Setelah sekian lama mengikuti pelajaran, ternyata didapati bahwa Zainal Arif adalah seorang pemuda yang pandai, cerdas dan cekatan dalam menerima pelajaran yang diberikan.

Karena dia pun menunjukkan kesetiaannya sebagai murid lalu akhirnya dinikahkah dengan salah seorang keturunannya kemudian diberi gelar Eyang Agung.

Abdul Manaf juga mempunyai murid yaitu Abdullah Gedug. Dari ketiga waliyuloh tersebutlah, ajaran Islam meluas di wilayah Bandung. Setelah wafat, Eyang Dalem Mahmud dikebumikan di bawah sebuah pohon beringin yang rindang.

Sedangkan Eyang Agung agak sedikit keluar dari kawasan makam utama kurang lebih 15 m ke sebelah utara dan juga makam Eyang Abdullah Gedug.

Ketiga tokoh itu memiliki kesaktian tingkat tinggi. Bahkan mereka pun memiliki benda pusaka yang hingga kini terus diburu para peziarah. Tak jarang ada peziarah yang mendapatkan benda-benda pusaka itu. Bentuknya bisa berupa golok, keris kecil, tombak atau batu-batuan.

Konon Kampung Mahmud sampai saat ini belum pernah diinjak oleh mereka yang bukan Islam. Bahkan semenjak zaman penjajahan Belanda dan Jepang pun Kampung Mahmud tidak terjamah oleh mereka dan selalu terpelihara “kebersihannya” dari mereka yang bukan beragama Islam. 

Sumber: 

-informationsiramanrohani.blogspot -Wikipedia
dan diolah berbagai sumber


Berita ini sebelumnya telah tayang di Sindonews dengan judul "Karomah Syekh Abdul Manaf dan Misteri Kampung Mahmud"

***

Editor : Ditya Arnanta

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network