SOLO, iNews.id - Kota Solo, sebuah kota yang keberadaannya sangat penting bagi Provinsi Jawa Tengah. Meski secara geografis, Kota Solo hanya seluas 46,01 km² ini, namun dari dahulu Kota yang pernah di pimpin Presiden Joko Widodo ini sudah sangat strategis.
Kota Solo, kota dimasa kolonial Belanda yang dikenal "Vorstanlande" atau daerah kekusaan raja, berada dijalur penghubung antara dua Provinsi. Provinsi Jawa Timur dan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Tak heran, bila Kota Solo, tingkat peradabannya jauh lebi maju di bandingkan dengan Kota lainnya.
Apalagi, di Kota Solo, terdapat dua Kerajaan yang hingga kini masih kokoh berdiri, yaitu Kraton Kasunanan dan Pura Mangkunegara. Keberadaan dua Kerajaan itulah yang memberikan sentuhan terhadap Kota Tua di Kota Solo. Kota Tua di Solo, berbeda dengan Kota Tua yang ada didaerah lainnya seperti Jakarta, Semarang, Surabaya, Palembang.
Bila didaerah lain, siapapun pasti tahu dimana letak Kota Tua itu berada. Tapi, bila Kota Tua di Solo, orang pasti akan kebingungan mencari dimana letak Kota Tua itu berada. Bahkan, warga Solo sendiri pun, terutama yang generasi milinial, kebanyakan tak tahu bila Kota Solo juga memiliki kota Tua seperti halnya kota-kota lainya.
Seperti pengakuan Sulis warga Purwopuran, Jebres, Solo. Saat ditanya dimana Kota Tua di Solo,
Sulis mengaku bila dirinya tak tahu dimana letak keberadaannya. Yang Sulis tahu hanyalah tiga tempat yaitu Kraton Kasunanan, Pura Mangkunegaran dan Benteng Vastenburg.
"Saya tahunnya cuma Keraton Kasunanan, Pura Mangkunegaran dan Benteng Vastenburg. Sudah itu saja, yang lainnya (Kota Tua) saya tidak tahu,"papar Sulis saat ditanya iNewskaranganyar.id menyangkut Kota Tua, belum lama ini.
Komentar serupa juga dilontarkan Ali yang sehari-hari berprofesi sebagai pedagang angkringan ini pun tak tahu dimana Kota Tua di Solo itu berada.
"Tidak tahu dimana. Kalau Semarang itukan ada Gereja Bledugnya. Kalau disini saya cuma tahunnya Keraton sama Benteng saja,"ungkapnya.
Apa yang diutarakan kedua warga Solo yang termasuk generasi milinial tentang dimana keberadaan Kota Tua di Solo sangatlah wajar.
Salah satu putri Raja Pakubuwono XII, GKR Wandansari Koes Moertiyah atau Gusti Moeng mengatakan Kota Tua di Solo itu keberadaannya tidak berada dalam satu lokasi seperti Kota Tua di daerah lain. Kota Tua di Solo, letaknya tersebar dibeberapa tempat di Kota Solo.
"Kota Tua di Solo itu letaknya tersebar di beberapa tempat. Tidak berkumpul menjadi satu,"papar Gusti Moeng belum lama ini pada iNewskaranganyar.id.
Siti Hinggil Keraton Kasunanan termasuk salah satu Kota Tua Solo (Foto:iNewskaranganyar.id/Bramantyo)
Menurut Gusti Moeng, untuk menelusuri cikal bakal Kota Tua di Solo, dimulai dari daerah dibagian utara Kota Solo. Pasalnya, daerah di Solo yang paling pas disebut sebagai Kota Tua adalah dibagian utara Kota Solo, atau tepatnya di utara Laweyan.
Daerah tersebut dahulunya bernama Pamanahan. Yang sekarang berubah menjadi nama menjadi Manahan. Kenapa daerah itu disebut Kota Tuannya Solo. Karena didaerah tersebut, ungkap Gusti Moeng, pernah tinggal putra dari Ki Ageng Enis dan cucu Ki Ageng Sela, yaitu Ki Gede Pamanahan atau Kyai Gede Mataram saat jaman Kerajaan Pajang. Kala itu,Ki Gede Pamanahan diangkat menjadi lurah wiratama oleh bupati Pajang.
Dulunya didaerah ini terdapat sebuah petilasan berupa sendhang (kolam mata air) yang konon menjadi tempat Ki Gede Pamanahan biasa membersihkan diri. Namun sayangnya disaat ini, keberadaan sendang yang dipakai pendiri desa Mataram ditahun 1556 untuk membersihkan diri itu sudah sangat sulit ditemukan.
Kendati kala itu Pangeran Adipati Mangkunegara VII membangunkan tembok yang mengelilingi tempat tersebut.
"Kemudian daerah yang disebut Kota Tua di Solo itu, ya, Siti Hinggil (salah satu bangunan diareal Kraton Kasunanan) ini juga termasuk Kota Tuanya Solo, selain Keraton. Waktu itu Susuhunan Pakubuwana II membeli tanah seharga selaksa keping emas yang diberikan kepada akuwu (lurah) Desa Sala yang dikenal sebagai Ki Gede Sala,"paparnya.
Putri Raja Pakubuwono XII GKR Wandansari atau Gusti Moeng mengutarakan Kota Tua Solo (Foto: iNewskaranganyar/Bramantyo)
Menurut Gusti Moeng, setelah Susuhunan Pakubuwana II memegang tampuk pemerintahan, Kerajaan Mataram yang sudah dalam keadaan kacau balau setelah mendapat serbuan dari pemberontakan orang-orang Tionghoa yang mendapat dukungan dari orang-orang Jawa anti VOC tahun 1742, dipindahkan ke sebuah Desa bernama Sala.
Di Desa Sala inilah Pakubuwono ke II mendirikan istana baru sebagai ibu kota Mataram yang baru. Menurut Gusti Moeng, saat itu space area di sekitar Gladag dan gapura dipakai sebagai tempat menyimpan binatang hasil buruan.
Disinilah Keraton kerap menggelar upacara-upacara yang melibatkan rakyatnya. Dan akhirnya, daerah disekitar Kraton, selain menjadi tempat tinggal para bangsawan, juga mulai ditempati berbagai etnis. Mulai dari Arab dan China.
"Kalau ditanya kenapa sekarang tidak bisa terpusat seperti daerah lainnya ya dikarenakan kultur masyarakat itu sendiri. Ditambah, munculnya pergolakan-pergolakan yang membuat beberapa tempat yang tadinya jadi satu, menjadi terpecah-pecah,"paparnya.
Senada dengan yang diutarakan Gusti Moeng, pengamat Arsitektur dari Universitas Sebelas Maret Dr.Eng Kusumaningdyah mengatakan Kota Tua di Solo sangat berbeda dengan Kota Tua yang ada di Jakarta atau pun di Semarang.
"Dengan Semarang yang dekat saja misalnya, Kota Tuannya sangat berbeda. Kalau di Semarang,orang sudah pasti tahu dimana itu letak Kota Tuannya. Tapi kalau di Solo, orang masih bingung di mana Kota Tuanya berada,"papar perempuan yang biasa disapa Ruly belum lama ini.
Kota Tua Solo (Foto: iNewskaranganyar.id/Bramantyo)
Kenapa demikian, karena, ungkap Ruly, keberadaan Kota Tua di Solo ini letaknya menyebar. Dan hampir diseluruh wilayah Solo, Kota Tua itu ada. Menurut Ruly, keberadaan dua Kerajaan di Solo, Keraton Kasunanan dan Pura Mangkunegaran memiliki andil besar yang mendorong keberadaan Kota tua, baik dari sisi arsitektur maupun tata letak jauh lebih moderen dibandingkan dengan daerah lainnya.
"Lihat saja sepanjang jalan Jenderal Sudirman, masih berdiri bangunan-bangunan kuno, seperti kantor BI, Beteng Vastenburg dan Pasar Gede. Disitulah segi tiga emasnya Solo sampai sekarang,"paparnya.
"Baik untuk perekonomian dan pemerintahan. Dari sisi penataan, segi tiga emas itupun sudah jauh moderen dibandingkan daerah lainnya. Dari arsitekturnya, didaerah lain belum tersentuh arsitekut eropa, tapi di Solo, sentuhan arsitektur eropa sudah ada,"imbuhnya.
Pengamat Arsitektur dari Universitas Sebelas Maret Dr.Eng Kusumaningdyah (Foto: iNewskaranganyar.id/Bramantyo)
Bahkan dari penataan zona perekonomiannya, Solo lebih ungguh dari Kota lainnya. Dimana, daerah lainnya belum memikirkan tata letak zona perekonomian dan pemerintahan, namun di Solo, penataan itupun sudah dilakukan.
Ini terlihat dari terhubungnya antara Keraton Kasunanan, Pura Mangkunegaran dan Benteng Vastenburg yang kala itu memang didirikan untuk memantau segala pergerakan dari Keraton Kasunanan dan Pura Mangkunegara.
"Kalau di daerah lain, seperti Semarang misalnya, Klauster Kota Tua kebanyakan dekat dengan Pelabuhan. Dan banyak dibangun gedung yang cukup besar untuk menarik masyarakat untuk datang, tapi kalau di Solo tidak. Di Solo, peran sungai Bengawan Solo dan Keraton yang mendominasi tidak terbentuknya Klauster Kota Tua. Karena mayoritas, masyarakat memilih tinggal di dekat sungai atau Kraton,"terangnya.
Editor : Ditya Arnanta
Artikel Terkait