WONOGIRI, iNews.id - Nama Kayangan tak bisa begitu saja dilepaskan dari berdirinya Kerajaan Mataram.
Disinilah, konon sebelum mendirikan Kerajaan Mataram, Panembahan Senopati membuat suatu perjanjian dengan penguasa Laut Selatan, Kanjeng Ratu Kidul.
Di Kayangan ini pulalah, Panembahan Senopati memadu kasih dengan Ratu Kidul.
Mitos legenda perjanjian antara Kanjeng Ratu Kidul dengan Panembahan Senopati sebelum mendirikan tahta dinasti Mataram Islam ditanah Jawa, tak hanya menjadi mitos cerita legenda semata.
Ini terbukti dengan adanya beberapa petilasan yang pernah menjadi saksi bisu adanya peristiwa sakral yang sarat dengan nuansa mistis tersebut.
Ikrar ikatan perkawinan antara Penembahan Senopati dengan Kanjeng Ratu kidul pernah dilakukan di sebuah desa terpencil yang bernama desa Ndlepih Kabupaten Wonogiri.
Perkawinan ghaib yang dilakukan oleh Panembahan Senopati dengan tujuan demi memperoleh wahyu keprabon pada masa awal pertama kali akan berdirinya kerajaan Mataram Islam di tanah Jawa.
Perjanjian ini menjadi tonggak sejarah peradaban zaman serta menjadi suatu ikatan bathin yang sangat kuat, bahwa siapapun yang berkuasa menjadi raja Mataram di tanah Jawa, maka akan menjadi suami Kanjeng Ratu Kidul.
Ndlepih, desa kecil yang berjarak kurang lebih 50km dari kota Kabupaten Wonogiri, tepatnya terletak di kota Kecamatan Tirtomoyo.
Selain menjadi salah satu aset pariwisata daerah bagi pemerintah Kabupaten Wonogiri, Ndlepih juga menjadi salah satu tempat tujuan wisata ritual bagi para kalangan spiritual.
Kawasan ini telah dikenal sejak lama sebagai salah satu tempat paling keramat sekaligus paling angker di tanah Jawa.
Juru kunci Kayangan, Ujara Wakino, banyak menyimpan cerita sejarah yang sarat dengan nuansa mistis Tegas.
Menurut cerita, keberadaan Kayangan diawali ketika pertama kali Danang Sutowijaya mencari wahyu raja yang ketika itu berada di tangan ayahnya Ki Ageng Pemanahan.
Air terjun Persiraman disinilah panembahan Senopati dan Ratu Kidul membersihkan diri (Foto: iNewskaranganyar.id/Bramantyo)
Keberhasilan Ki Ageng Pemanahan memperoleh tanah mentaok lewat putranya yang bernama Danang Sutowijaya, setelah membunuh Haryo penangsang akhirnya mendapatkan balas jasa sejengkal tanah perdikan di Mentaok (Kotagede) oleh Sultan Pajang Hadiwijaya.
Ki ageng Pemanahan yang ketika itu menjabat seorang penguasa di tanah Mentaok masih dibawah kendali kekuasaaan Hadiwijaya.
Meski wahyu raja tersebut sebenarnya telah diketahui oleh Ki Ageng Pemanahan yang tak lain adalah ayahnya sendiri, namun demi sebuah kekuasaan, Danang Sutowijaya nekad menempuh gelapnya hutan Kayangan menjalani laku bertapa mencari kebenaran wahyu keprabon.
Dalam perjalananya mencari wahyu keprabon, sampailah Danang Sutowijaya di sebuah desa terpencil (Ndlepih) di selatan Wonogiri.
Danang Sutowijaya adalah nama asli Panembahan Senopati sebelum bergelar Panembahan Senopati setelah menduduki tahta raja Mataram Islam yang pertama kali di tanah Jawa.
Awal pertama kali memasuki hutan Kayangan, Danang Sutowijaya melakukan semedi di Selo bethek guna mendapatkan petunjuk dari Tuhan apa yang harus dia lakukan untuk mencari wahyu tersebut.
Meski wahyu ini sebenarnya telah diketahui oleh ayahnya bahwa suatu hari kelak anak turunnya yang akan menjadi penerus raja raja di tanah Jawa.
Beberapa lamanya setelah menjalani laku bertapa di Selo bethek, Danang Sutowijaya kemudian bertapa lagi di Selo Payung. Di tempat ini selain menjalani laku bertapa juga dipergunakan sebagai tempat untuk istirahat, sekaligus perenungan diri atau pamelengan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.
Dalam hutan rimba belantara seorang diri, Panembahan Senopati hanya di temani gelapnya malam dan binatang binatang hutan.
Hingga tanpa sengaja seorang perempuan melihat dirinya ketika tengah semedi. Perempuan ini tak lain adalah Nyai Huju, penduduk desa sekitar yang keseharianya mencari daun Huju, oleh karena itu lantas mendapatkan julukan Nyai Huju.
Karena terpikat dengan ketampanan Panembahan Senopati, Nyai Huju diam diam jatuh hati kepadanya, meski dirinya telah berumah tangga namun ketampanan Panembahan Senopati mampu membuatnya jatuh cinta.
Sejak itu secara diam diam setiap hari Nyai Huju melayani Panembahan Senopati, pagi berangkat dari rumah sore menjalng petang baru kembali kerumah. Hal ini akhirnya membuat Ki Huju, suami Nyai Huju merasa curiga dengan tingkah laku istrinya.
Meski telah menjadi pelayan Panembahan Senopati, Nyai Huju tak pernah mengetahui bahwa Panembahan Senopati sebenarnya tak sendirian di hutan tersebut.
Setiap waktu tertentu dirinya selalu ditemani Kanjeng Ratu Kidul setelah selesai menjalankan tapa dan Sholat di batu gilang. Di tempat ini Panembahan Senopati dan Ratu Kidul seringkali menghabiskan waktunya bercengkrama dan merajut benang cinta diantara keduanya.
Sumber mata air yang berasal dari dua buah aliran air terjun yang mengalir ke bawah menjadi tempat keduanya siram (mandi).
Oleh karena itu tempat ini kemudian dikenal dengan nama kedung pesiraman. Sebuah batu hitam yang pernah dipergunakan Panembahan Senopati menggosok tubuhnya ketika mandi, yang pernah ditinggalkan di sungai seringkali dijadikan perburuan para pelaku ritual.
Batu hitam tersebut konon bertuliskan rajah arab yang memiliki kekuatan daya kekuatan tuah mampu mendapatkan kebahagiaan dan keberuntungan bagi siapapun yang memilikinya.
Perjalanan percintaan Panembahan Senopati dengan Kanjeng Ratu Kidul akhirnya terkuak ketika tanpa sengaja Ki Huju melihat keduanya tengah bermesraan di sebuah batu di pinggir sungai.
Ki Huju yang penasaran dengan tingkah laku istrinya lantas mencarinya di dalam hutan, ingin mencari tahu apa yang telah diperbuatnya. Ketika tengah mencari di dalam hutan, tanpa sengaja Ki Huju melihat Panembahan Senopati tengah tiduran dengan mesra bersama Kanjeng Ratu Kidul yang mengelus rambut suaminya..
Kaget melihat ada seseorang yang memergokinya, Kanjeng Ratu Kidul lantas meraih tasbeh yang dikenakan Panembahan Senopati dan terputuslah tasbeh yang dikenakanya.
Dua buah aliran air terjun yang mengalir ke bawah menjadi tempat Panembahan Senopati dan Ratu Kidul mandi (Foto: iNewskaranganyar.id/Bramantyo)
Biji tasbih yang berceceran akhirnya jatuh ke sungai dan kesemuanya lenyap di telan dalamnya kedung pesiraman.
Oleh Kanjeng Ratu Kidul biji tasbih yang berceceran lantas di sabda, Siapapun orangnya yang bisa mendapatkan biji tasbih maka akan mendapatkan kebahagian.
Oleh karena sabda Kanjeng Ratu Kidul, maka banyak pelaku ritual bertapa kungkum di kedung pesiraman dengan harapan agar bisa mendapatkan satu biji tasbih milik Panembahan Senopati.
Jengkarnya Kanjeng Ratu Kidul setelah mengetahui Ki Huju lantas mengakhiri seluruh perjalanan Panembahan Senopati di Kayangan.
Beberapa saat setelah pencarian wahyu keprabon, Danang Sutowijaya akhirnya menduduki tahta di Kotagede bergelar Panembahan Senopati.
Nyai Huju yang pada waktu itu dengan setia melayani Panembahan Senopati kemudian memanggil Nyai Huju dan memberinya perintah agar tetap menjaga Kayangan sepanjang hidupnya, bahkan sampai mati sekalipun Roh Nyai Huju dipercaya masih berada di Selo bethek, dan masih tetap menjaga Kahyangan.
Tak ketinggalan juga Kanjeng Ratu Kidul memerintahkan salah satu senopati jin yang bernama Nyai Widiononggo untuk ikut menjaga Kayangan.
Nyai Widiononggo memperoleh tempat di Selo Payung sebagai tempat untuk bersemayam, yang bertugas menjaga kedung pesiraman beserta seluruh petilasan yang pernah dipergunakan junjunganya memadu kasih dengan kekasihnya. Papar Wakino, juru kunci yang telah bertugas selama lebih dari setengah abad.
Tak hanya petilasan milik Panembahan Senopati, beberapa tempat juga pernah dipergunakan untuk bertapa salah seorang tokoh sakti yang bernama Ki Ageng Sidik Permono tambahnya.
Mbah Wakino menambahkan, Ki Ageng Sidik Permono sebenarnya adalah rakyat jelata yang mendapatkan gelar sebutan Ki Ageng Sidik Permono dari Sinuhun PakuBuwono Raja Kasunanan Surakarta karena kepiawaianya menebak.
Cerita ini terjadi ketika Raja Kasunanan tengah berkunjung ke Kayangan dan mendapati seseorang dengan mata buta terlihat tengah bertapa di samping Selo penangkep.
Sinuhun yang saat itu mencoba bertanya kepada orang buta ini hampir seluruhnya bisa di tebak dengan benar, dari apa yang dikenakan hingga ke persoalan lain jawaban orang buta tersebut seluruh tak ada yang meleset.
Oleh karena itu orang buta tersebut akhirnya memperoleh gelar berjuluk Ki Ageng Sidik Permono, seseorang yang yang tak luput tebakannya
Editor : Ditya Arnanta