SOLO, iNews.id - Momentum Ramadan tahun 2022 ini cukup unik, sebab berbarengan dengan tradisi puasa dan pantang umat Katolik.
Dengan memanfaatkan momentum tersebut, Komunitas Omah Bhinneka bekerjasama dengan Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) menggelar diskusi bertajuk “Puasa Membingkai Cinta (Tinjauan Keberagaman Agama & Penghayat Kepercayaan)”.
Dari pantauan iNews, diskusi tersebut menghadirkan 6 narasumber, masing-masing Gress Raja, Spd (Sekretaris Majelis Luhur Kepercayaan Indonesia/MLKI Kota Surakarta), MLn. Muhaimin Khoirul Amin, Mbsy (Mubaligh Ahmadiyah Solo) serta Pdt. Dr. Jarot Kristianto, M.Si (Dosen Pasca Sarjana STT Berita Hidup).
Kemudian juga hadir, Petrus Anung Hoki (Ketua Komisi Hubungan Antar Agama dan Kepercayaan-Kevikepan Katolik Surakarta), Pinandita Bagio Hadi (Parisada Hindu Dharma Indonesia) dan Dr Situ Asih, M.Ikom (Dosen STA Budha Raden Wijaya Wonogiri).
Acara tersebut dipandu oleh moderator Lydia Riana Dewi, Spd (Pengurus Komunitas Omah Bhinneka).
Muhaimin Khoirul Amin, narasumber yang berkesempatan mengawali penyampaiannya menyebutkan, dalam berpuasa mengandung 2 aspek yaitu Teologis dan Sosiologis.
“Aspek Teologis (Hablumminallaah), kita diperintahkan untuk bertaqwa kepada Allah Swt sebagai tujuan utama berpuasa. Kemudian kedua ada aspek sosiologis (Hablum Minan Naas), Kita diperintahkan untuk bersatu, saling mencintai dan saling bersaudara,” papar Muhaimin yang menyampaikan materi ‘Puasa dalam Islam Menghidupkan Sikap Berbagi”, Selasa (26/04/2022).
Sementara Pdt Dr. Jarot Kristianto mengatakan, bahwa puasa sudah tercantum dakam Kitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Puasa dilakukan oleh orang Kristen seperti yang diajarkan Yesus.
“Intinya, puasa bisa mendekatkan pada Tuhan dengan mengajarkan kerendahan diri untuk menuju pertobatan,” ujar Pdt Jarot yang menyampaikan materi tentang ‘Melawan keinginan duniawi dalam Puasa Kristen” pada diskusi yang digelar di sekretariat Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) di Surakarta, Jalan Pakuningratan, Kawasan Baluwarti, Solo, kemarin.
Di sisi lain Gress Raja (Ki Kentongan), Spd (Sekretaris MLKI Surakarta) menambahkan, dalam tradisi Jawa, puasa selalu dilaksanakan sebagai laku utama dari tirakat (keprihatinan jiwa-raga) atau laku tapa (mengasingkan diri).
“Tujuan laku tapa, adalah pengendalian raga untuk kesehatan. Kesehatan raga merupakan kendali terjadinya keharmonisan atau keseimbangan antara Sedulur Papat. Atau 4 unsur alam yang membentuk raga manusia, yakni bumi (tulang dan daging), api (darah), air dan angin (oksigen),” papar Gress yang menyampaikan materi ‘Puasa Tapa Brata, Laku Tapa Menahan Keinginan Menghadirkan Cinta’.
Mewakili Katolik, Petrus Anung menjelaskan, dalam tradisi masa pra Paskah (puasa dan pantang), umat Katolik diajak untuk berbagi terhadap sesama.
“Dengan menyisihkan sebagian dari pengeluaran harian yang dimasukkan dalam celengan APP (aksi puasa pembangunan,” terang Anung yang menyampaikan materi tentang ‘Masa untuk Pertobatan dalam Konsep Puasa Katolik.’
Dr. Situ Asih dari Budha mengatakan, bahwa dalam Budha mengenal Uposatha. Secara harafiah, masuk untuk berdiam dalam keluhuran.
“Jadi dalam agam Budha, puasa lebih pada menghindari nafsu duniawi untuk mempraktikkan pengendalian diri,” ungkap Situ Asih yang menyampaikan materi tentang ‘Uposatha, Puasa dalam Agama Buddha.’
Disusul Pinandita Bagio Hadi mewakili Hindu yang menerangkan, dalam ajaran Hindu, setiap menjelang hari raya keagamaan, ada aturan untuk berpuasa bagi umatnya.
“Namun untuk Hari Nyepi, berpuasa selama 24 jam untuk tidak makan dan minum,” kata dia yang menyampaikan materi tentang ‘Konsepsi Upawasa, Puasa dalam Ajaran Hindu’.
Ada juga Konsep Tapa Brata Upawasa. “Tapa Brata berarti mengendalikan diri atau mengekang hawa nafsu. Sementara Brata artinya, mengurangi makan dan minum,” lanjutnya.
Editor : Ditya Arnanta