BANJARBARU, iNewskaranganyar.id - Sepintas tak ada yang berbeda dengan salah satu daerah di Kalimantan Selatan yaitu Banjarbaru. Sama seperti pedesaan, Banjarbaru ini pun jauh dari hiruk pikuk perkotaan. Tapi siapa sangka, di Banjarbaru ada sebuah perkampungan bernama Kampung Janda.
Lantas, seperti apa asal mula ada Kampung Janda di Kalimantan? Berikut ulasannya dirangkum melalui YouTube Epic Vice, Jumat (11/6/2021).
Sebenarnya desa ini memiliki nama asli Kampung Batuah, daerah tinggal ini terkenal karena mayoritas penduduknya yang merupakan perempuan yang sudah ditinggal suami.
Menurut ketua Rukun Tetangga setempat, hanya ada kurang dari sepuluh rumah di kampung itu yang memiliki laki-laki.
Sisanya, sekitar 90 persen dihuni oleh perempuan berstatus janda. Bisa ada satu sampai tiga perempuan dengan status janda yang tinggal di satu rumah.
Usia perempuan yang menjanda pun beragam, dari semuda-mudanya 25 tahun hingga umur 50 tahun. Ada banyak faktor para perempuan itu menyandang status janda, dari perceraian hingga ditinggal mati sang suami.
Sebutan Kampung Janda ini berawal dari banjir yang melanda kampung tersebut. Ketika ada seorang warga yang diwawancara oleh seorang wartawan, dia tak sengaja menyebutkan banyaknya janda yang ada di kampung tersebut.
Sang wartawan pun kemudian menyimpulkan, kampung tersebut dijuluki Kampung Janda. Meski awalnya sang narasumber tidak terima, warga lainnya meminta dia membiarkan saja. Hingga melekatlah sebutan Kampung Janda itu sampai sekarang.
Meskipun kata janda dipenuhi konotasi negatif, para penduduk di kampung ini sangat jauh dari stereotipe itu. Karena tidak adanya sosok suami yang bisa bekerja di luar rumah, para perempuan harus menjadi tulang punggung keluarga dan mencari nafkah.
Banyaknya anak-anak menghalangi mereka dari mencari kerja jauh dari rumah sehingga para penduduk berinisiatif untuk mendirikan banyak home industry, dari berjualan kain, batu mulia, hingga jajanan khas daerah seperti amplang dan dodol kandangan.
Dengan status mereka yang tidak bersuami dan konotasi negatif yang mereka sandang, para perempuan ini tetap bisa mandiri dan hidup berkecukupan karena adanya dukungan dari sesama penghuni sekitar mereka. ***
Editor : Ditya Arnanta