SOLO,iNews.id - Jelang kirab malam 1 Suro, Kebo bule hewan peliharaan Kraton Kasunanan Surakarta yang diyakini sebagai keturunan dari Kyai Slamet mati.
Matinya kebo hewan kesayangan Pakubuwono II, Raja Keraton Kasunanan menjelang peringatan malam satu Suro ini mulai dikaitkan dengan hal-hal berbau mistis. Selalu dikaitkannya hal mistis jelang satu suro, bukanlah hal aneh.
Karena kebo albino ini sangat erat sekali dengan perayaan malam satu Suro. Setiap tahun setiap perayaan malam satu, ribuan masyarakat selalu memadati ruas jalan yang akan dilalui kirab kebo bule. Mulai dari depan Keraton kemudian mengelilingi tembok keraton dan kembali lagi kedalam lingkungan Keraton.
Jumlah Kebo yang dikirab itupun berbeda-beda tiap tahunnya. Ada yang hanya berjumlah tujuh ekor, ada pula berjumlah 9 ekor. Jam kirab itupun setiap tahunnya berbeda-beda. Ada sebelum pergantian tahun, tepatnya tengah malam. Ada pula dibawah jam pergantian tahun.
Tergantung perintah dari Raja kapan Kirab bisa dimulai. Namun meski sang Raja telah memerintahkan kirab dimulai, bila sang kerbau ngambek alias tidak mau keluar dari kandangnya, maka acara kirab bisa ditiadakan sampai sang kerbau mau keluar dari kandangnya.
Dalam tradisi di Solo, kebo bule menempati barisan terdepan sebagai cucuk lampah barisan kirab. Bahkan kirab tidak akan terlaksana jika kebo bule tidak keluar dari kandangnya.
Sebelum kirab, sang pawang mengawali dengan ritual terlebih dahulu. Dengan dikawal pawangnya yang berpakaian putih, celana hitam, ikat kepala, samir, summing gajah ngoling (rangkaian bunga melati yang dipasang di telinga), Kebo-kebo ini terlebih dahulu disuguhkan ubo rampe berupa kembang hingga meminum kopi yang dihidangkan oleh abdi dalem. Usai makan sesaji, rombongan kebo bule yang menjadi cucuk lampah kemudian pergi. Iringan peserta kirab pun dimulai.
Begitu keramatnya kebo ini, masyarakat selalu berebut kotoran kebo yang berjatuhan selama kirab. Mereka meyakini adannya berkah bagi siapa saja yang mendapatka kotoran kerbau. Tak hanya kotoran, kembang yang tak dihabiskan oleh hewan pusaka serta air minum kerbau inipun tak luput dari serbuan warga.
Disadur iNewskaranganyar.id dari laman keraton.perpusnas.go.id, yang mengutip dari buku Babad Sala karya Raden Mas (RM) Said yang dikenal sebagai Adipati Mangkunegaran atau Mangkunegara I mengisahkan bila Kebo ini merupakan hadiah dari Bupati Ponorogo Kyai Hasan Besari Tegalsari saat itu pada Pakubuwono II saat mengungsi ke Ponorogo. Pada zaman Keraton Mataram kuno.
Kala itu, Pakubuwono II masih tinggal di Keraton Kartosuro. Pakubuwono II terpaksa mengungsi ke Ponorogo karena kondisi Keraton Kartosuro yang tengah bergejolak akibat geger pecinan.
Setelah geger pecinan berhasil ditumpas, dan Keraton Kartosuro berhasil direbut kembali, Pakubuwono II inipun membawa hadiah dari Bupati Ponorogo kembali ke Keraton kartosuro. Kebo bule juga memiliki andil dalam menentukan lokasi baru untuk keraton.
Karena Keraton Kartosuro telah lululantak saat geger pecinan, leluhur kebo bule inipun dilepas. Mereka diikuti oleh para abdi dalem. Singkat cerita, kebo bule itu berhenti di lokasi yang kini menjadi Keraton Kasunanan Surakarta.
Nama Kyai Slamet sendiri sebenarnya merupakan nama dari salah satu pusaka berbentuk tombak milik Keraton Kasunanan yang sering dibawa berkeliling tembok Baluwarti oleh Pakubuwono X. Saat kirab keliling tembok Keraton, Pakubowono X selalu ditemani Kebo Bule yang mengikuti di belakangnya.
Karena rutinitas yang kerap dilakukan inilah kemudian berubah menjadi sebuah tradisi yang terus dilestarikan oleh kerabat keraton hingga saat ini.
Editor : Ditya Arnanta